Rabu, 20 Agustus 2014

ASKEP PPOK

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan Chronic Obstructive Pulmonari Diseases (COPD). Chronic Obstructive Pulmonari Diseases disebabkan oleh kesatuan penyakit yaitu bronkitis kronik, emfisema paru-paru dan asma bronkhial.
Secara umum Asma adalah suatu kondisi dimana jalan udara dalam paru-paru meradang hingga lebih sensitive terhadap factor khusus (pemicu) yang menyebabkan jalan udara berkurang dan mengakibatkan sesak napas dan bunyi napas mengikik. Pada penderita asma, penyempitan saluran pernapasan merupakan respon terhadap rangsangan yang pada paru-paru normal tidak akan memengaruhi saluran pernapasan. Penyempitan ini dapat dipicu oleh berbagai rangsangan, seperti serbuk sari, debu, bulu binatang, asap, udara dingin dan olahraga.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan COPD ?
1.2.2 Apa yang simaksud dengan Ashama ?
1.2.3 Apa yang dimaksud dengan Christic Fibris ?

1.3 TUJUAN
1.3.1 mahasiswa mampu menjaelaskan mengenai COPD dan membuat asuhan keperawatan COPD
1.3.2 mahasiswa mampu menjelaskan mengenai Ashma dan membuat asuhan keperawatan Ashma
1.3.3 mahasiswa mamu menjelaskan Christic Fibris dan membuat asuhan keperawatan Christic Fibris

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 CHRONIC OBSTRUCTIVE PULMONARI DISEASES (COPD)
2.1.1 Definisi
Penyakit paru Obstruktur Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonari Diseases (COPD) merupakan suatu istilh yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara sebagai gambaran patologis utamanya.
Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah asma bronkial, bronkitis kronis, emifisema paru-paru.

Gambar : COPD

2.1.2 Asma Bronkial
2.1.2.1 Definisi
Asma adalah suatu gangguan pada saluran bronkial yang mempunyai ciri (konstraksi spasme pada saluran napas) terutama pada percabangan trakeobronkial yang dapat diakibatkan oleh berbagai stimulus seperti oleh faktor biokemikal, endokrin, infeksi, otonomik, dan spikologi.
2.1.2.2 tipe Asma
Berdasarkan penyebabnya asma terbagi menjadi alergi, idiopatik dan nonalergik atau campuran (mixed).
a. Asma alergik : suatu jenis asma dengan yang disebabkan oleh alergen ( misalnya bulu binatang, debu, sari bunga dll.)
b. Idiopatik atau nonallergec astha : jenis asma yang tidak berhubungan secara langsung dengan alergen spesifik. Faktor-faktir seperti common cold, infeksi saluran nafas atas, aktivitas, emosi, dan polusi lingkungan dapat menimbulkan serangan asma.
c. Asma campuran : merupakan bentuk asma yang paling sering ditemukan. Dikarakteristikkan dengan bentuk kedua jenis asma alergi dan idiopatik/nonalergi.
2.1.3 Bronkitis Kronis
2.1.3.1 Definisi
Bronkitis akut adalah radang pada bronkus yang biasanya mengenai trakea dan laring, sehingga sering dinamai juga dengan laringotracheobronchitis. Radang ini dapat timbul sebagai kelainan jalan napas tersendiri atau sebagai bagian dari penyakit sistemik misalnya morbili, pertusis, difteri, dan tipus abdominimalis.
Istilah bronkhitis kronis menunjukkan kelainan pada bronkhus yang sifatnya menahun dan disebabkan oleh berbagai faktor, meliputi faktor yang berasal dari luar bronkhus maupun dari bronkhus itu sendiri.



2.1.4 Emfisema Paru-Paru
2.1.4.1 Definisi
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan. Sesuai dengan definisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tidak termasuk emfisema jika tidak ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa di sertai adanya destruksi jaringan. Namun, keadaan tersebut hanya sebagai overinflation.
2.1.4.2 Tipe Emfisema
a. Emfisema sentriolobular
Merupakan tipe yang sering muncul dan memperlihatkan kerusakan bronkiolus, biasanya pada daerah paru-paru atas. Inflamasi merambah sampai bronkiolus tetapi biasanya kantung alveolus tetap tersisa.
b. Emfisema panlobular (panacinar)
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan umumnya jug merusak paru-paru bagian bawah. Tipe ini sering disebut centriacinar emfisema, sering kali timbul pada perokok. Panacinar timbul pada orang tua dan pasien dengan defisiensi alpha-antitripsin.
c. Emfisema paraseptal
Merusak emboli lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi blebs (udara dalam alveoli) sepanjang perifer paru-paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumotorak spontan.
2.1.5 Komplikasi COPD
2.1.5.1 Hipoksemia
Didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 < 55 mmHg dengan nilai saturasi oksigen<85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut akan timbul sianosis. 2.1.5.2 Asidosis Respirator Timbul akibat dari peningkatan PaCO2 (hiperkapnea). Tanda yang muncul antara lain nyeri kepala, fatigue, letargi, dizzes, dan takipnea. 2.1.5.3 Infeksi Respiratori Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus dan rangsangan otot polosbronkial serta edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan menyebabkan peningkatan kerja napas dan timbulnya diapnue. 2.1.5.4 Gagal Jantung Terutam kor pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi terutama pada klien dengan diapnue berat. 2.2.6 Etiologi Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko munculnya COPD (Mansjoer, 1999) adalah : 1. Kebiasaan Merokok 2. Polusi Udara 3. Riwayat Infeksi saluran nafas 4. Genetik 2.6.7 Patofisiologi Terjadi peradangan kronis di seluruh saluran pernapasan dan vaskulatur paru. Dalam trakea, bronki, dan bronkioli yang berdiameter > 2-4 mm, sel-sel radang menginfiltrasi epitel permukaan dan terjadi hipersekresi akibat pembesaran kelenjar yang mensekresi mucus dan bertambahnya jumlah sel goblet. Dalam bronki dan bronkioli yang kecil dengan diameter internal < 2mm, peradangan kronis berhubungan dengan remodeling dinding saluran napas, disertai bertambahnya kolagen dan jaringan parut, penyempitan lumen dan menyebabkan obstruksi saluran napas yang menetap.
Destruksi parenkim paru secara khas terjadi dalam bentuk emfisema sentrilobular. Pada kasus yang ringan, lesi biasanya mengenai region paru bagian atas, namun pada penyakit yang lanjut bisa terjadi difusi diseluruh bagian paru. Perubahan vascular terjadi pada stadium dini. Penebalan intima dinding pembuluh darah diikuti oleh proliferasi otot polos dan infiltrasi sel radang. Perubahan patologis ini menimbulkan perubahan fisiologis yang khas. Hipersekresi mucus dan disfungsi silia menyebabkan batuk produktif yang kronis. Keterbatasan aliran udara, hiperinflasi, dan abnormalitas pertukaran udara menyebabkan sesak nafas. Hipertensi pulmonal dan kor pulmonal adalah tanda-tanda lanjut.

2.1.8 Manifestasi Klinik
Pada awalnya, pasien mengalami batuk produktif di pagi hari dan peningkatan infeksi frekuensi infeksi saluran pernapasan bawah yang menghasilkan sputum purulen. Organisme penyebab biasanya adalah Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae, dan virus saluran pernapasan. Selama bertahun-tahun terjadi sesak progresif lambat disertai mengi, yang semakin hebat pada episode infeksi akut. Terjadi emfisema klinis disertai hiperinflasi paru. Gagal napas dan gagal jantung kanan kronis adalah komplikasi jangka panjang.

2.1.9 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1) Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma; peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema); peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
2) Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi, mis., bronkodilator.
3) TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada asma; penurunan emfisema
4) Kapasitas inspirasi : menurun pada emfisema
5) Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma
6) FEV1/FVC : rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada bronkitis dan asma
7) GDA : memperkirakan progresi proses penyakit kronis
8) Bronkogram : dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kollaps bronkial pada ekspirasi kuat (emfisema); pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronkitis
9) JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma)
10) Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema primer
11) Sputum : kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen; pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi
12) EKG : deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat); disritmia atrial (bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis vertikal QRS (emfisema)
13) EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan/evaluasi program latihan.


2.1.9 Asuhan keperawatan COPD
2.1.9.1 Pengkajian
a. Aktivitas/Istirahat
1. Gejala:
• Keletihan, kelelahan, malaise
• Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernapas
• Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi
• Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan
2. Tanda:
• Keletihan, gelisah, insomnia
• Kelemahan umum/kehilangan massa otot
b. Sirkulasi
1. Gejala:
- pembengkakan pada ekstremitas bawah
2. Tanda:
• Peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi jantung/takikardia berat, disritmia, distensi vena leher
• Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung
• Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan peningkatan diameter AP dada)
• Warna kulit/membran mukosa: normal atau abu-abu/sianosis
• Pucat dapat menunjukkan anemia
c. Makanan/Cairan
1. Gejala:
 Mual/muntah, nafsu makan buruk/anoreksia (emfisema)
 Ketidakmampuan untuk makan karena distres pernapasan
 Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan menunjukkan edema (bronkitis)
2. Tanda
• Turgor kulit buruk, edema dependen
• Berkeringat, penuruna berat badan, penurunan massa otot/lemak subkutan (emfisema)
• Palpitasi abdominal dapat menyebabkan hepatomegali (bronkitis)





2.1.9.2 Diagnosa
1. Jalan nafas inefektif b/d bronkospasme, peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental d/d pernyataan kesulitan bernapas, perubahan kedalaman/kecepatan bernapas, penggunaan otot bantu pernapasan, bunyi nafas tidak normal, mis., ronki, mengi, krekels; batuk (menetap) dengan/tanpa produksi sputum.
2. Kerusakan pertukaran gas b/d gangguan suplai oksigen (obstruksi jalan nafas) oleh sekresi, spasme bronkus, jebakan udara, kerusakan alveoli d/d dispnea, bingung, gelisah, ketidakmampuan mengeluarkan sekret nilai GDA tidak normal (hipoksia dan hiperkapnea), perubahan tanda vital, penurunan toleransi terhadap aktivitas.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d dispnea, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual/muntah d/d penurunan berat badan, kehilangan massa otot, tonus otot buruk, kelemahan, keengganan untuk makan.
Kriteri hasil:
• Menunjukkan BB meningkatkan
• Mencapai tujuan dengan nilai laboratorium normal dan bebas tanda malnutrisi.
• Melakukan perilaku/perubahan pola hidup untuk menngkatkan dan mempertahankan BB yang tepat.
2.1.9.3 Intervensi
1. Diagnosa 1 : Jalan nafas inefektif b/d bronkospasme, peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental d/d pernyataan kesulitan bernapas, perubahan kedalaman/kecepatan bernapas, penggunaan otot bantu pernapasan, bunyi nafas tidak normal, mis., ronki, mengi, krekels; batuk (menetap) dengan/tanpa produksi sputum.
a. Tujuan : jalan nafas kembali efektif
b. Kriteria Hasil:
• Mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih dan jelas.
• Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas, mis., batuk efektif dan mengeluarkan sekret.
• Pasien mengatakan tidak mengalami kesulitan bernafas.

Intervensi :
a. Auskultasi bunyi napas, catat adanya bunyi napas tambahan, mis., mengi, krekels, ronki
b. Kaji/pantau frekuensi pernapasan, catat rasio inspirasi/ekspirasi
c. Catat adanya derajat dispnea, ansietas, distres pernapasan, penggunaan otot bantu napas
d. Tempatkan/atur posisi pasien senyaman mungkin, mis., peninggian kepala tempat tidur 15-30°, duduk pada sandaran tempat tidur.
e. Pertahankan udara lingkungan/minimalkan polusi lingkungan, mis., debu, asap, dll.

2. Diagnosa 2 : Kerusakan pertukaran gas b/d gangguan suplai oksigen (obstruksi jalan nafas) oleh sekresi, spasme bronkus, jebakan udara, kerusakan alveoli d/d dispnea, bingung, gelisah, ketidakmampuan mengeluarkan sekret nilai GDA tidak normal (hipoksia dan hiperkapnea), perubahan tanda vital, penurunan toleransi terhadap aktivitas.
a. Tujuan : Mempertahankan oksigenasi atau ventilasi adekuat
b. Kriteria Hasil:
• Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distres pernapasan.
• Berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat kemampuan/situasi.





Intervensi :
a. Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan, catat penggunaan otot bantu pernapasan, a. napas bibir
b. Tinggikan kepala tempat tidur, bantu klien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernafas, dorong nafas dalam perlahan
c. Kaji / awasi secara rutin kulit dan warna membran mukosa
d. Anjurkan mengeluarkan sputum, penghisapan bila diindikasikan
e. Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan udara/bunyi tambahan
f. Awasi tanda vital dan irama jantun.
g. Kolaborasi
h. Berikan oksigen sesuai indikasi
i. Berikan penekan SSP (anti ansietas sedatif atau narkotik) dengan hati-hati sesuai indikasi

2.2 ASMA
2.2.1 Definisi
Secara umum Asma adalah suatu kondisi dimana jalan udara dalam paru-paru meradang hingga lebih sensitive terhadap factor khusus (pemicu) yang menyebabkan jalan udara berkurang dan mengakibatkan sesak napas dan bunyi napas mengikik.
Asthma adalah suatu gangguan yang komplek dari bronkial yang dikarakteristikan oleh periode bronkospasme (kontraksi spasme yang lama pada jalan nafas). (Polaski : 1996).
Asthma adalah gangguan pada jalan nafas bronkial yang dikateristikan dengan bronkospasme yang reversibel. (Joyce M. Black : 1996).
Asthma bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon. Trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan (The American Thoracic Society).
2.2.2 Etiologi
Asma adalah suatu obstruktif jalan nafas yang reversibel yang disebabkan oleh :
1) Kontraksi otot di sekitar bronkus sehingga terjadi penyempitan jalan nafas.
2) Pembengkakan membran bronkus.
3) Terisinya bronkus oleh mukus yang kental.

4) Alergi utama, seperti debu rumah, spora jamur, dan tepung sari rerumputan
5) Iritan seperti asap, bau-bauan, dan polutan.
6) Infeksi saluran napas terutama yang disebabkan oleh virus.
7) Perubahan cuaca yang ekstrem
8) Kegiatan jasmani yang berlebihan
9) Emosi dan stress
2.2.3 Tanda dan Gejala
1) Napas mengikik
Dengan atau tanpa sesak napas, napas yang mengikik dapat muncul bila ada pemicu atau karena sebab lain.
2) Sesak napas
Sering disertai napas mengikik dan batuk, tapi dapat juga muncul sendiri.
3) Batuk
Batuk dengan lender atau batuk kering dapat merupakan pertanda asma.

4) Sesak dada
Gejala asma ini dapat rancu dengan gangguan jantung pada orang yang lebih tua.

2.2.4 Patofisiologi
Proses perjalanan penyakit asma dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu alergi dan psikologis, kedua faktor tersebut dapat meningkatkan terjadinya kontraksi otot-otot polos, meningkatnya sekret abnormal mukus pada bronkiolus dan adanya kontraksi pada trakea serta meningkatnya produksi mukus jalan nafas, sehingga terjadi penyempitan pada jalan nafas dan penumpukan udara di terminal oleh berbagai macam sebab maka akan menimbulkan gangguan seperti gangguan ventilasi (hipoventilasi), distribusi ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru, gangguan difusi gas di tingkat alveoli.
Tiga kategori asma alergi (asma ekstrinsik) ditemukan pada klien dewasa yaitu yang disebabkan alergi tertentu, selain itu terdapat pula adanya riwayat penyakit atopik seperti eksim, dermatitis, demam tinggi dan klien dengan riwayat asma. Sebaliknya pada klien dengan asma intrinsik (idiopatik) sering ditemukan adanya faktor-faktor pencetus yang tidak jelas, faktor yang spesifik seperti flu, latihan fisik, dan emosi (stress) dapat memacu serangan asma.
2.2.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik pada pasien asma adalah batuk, dyspnoe, dan wheezing. Pada sebagian penderita disertai dengan rasa nyeri dada, pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, sedangkan waktu serangan tampak penderita bernafas cepat, dalam, gelisah, duduk dengan tangan menyanggah ke depan serta tampak otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras.




Ada beberapa tingkatan penderita asma yaitu :
2.2.5.1 Tingkat I :
a) Secara klinis normal tanpa kelainan pemeriksaan fisik dan fungsi paru.
b) Timbul bila ada faktor pencetus baik didapat alamiah maupun dengan test provokasi bronkial di laboratorium.
2.2.5.2 Tingkat II :
a) Tanpa keluhan dan kelainan pemeriksaan fisik tapi fungsi paru menunjukkan adanya tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
b) Banyak dijumpai pada klien setelah sembuh serangan.
2.2.5.3 Tingkat III :
a) Tanpa keluhan.
b) Pemeriksaan fisik dan fungsi paru menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
c) Penderita sudah sembuh dan bila obat tidak diteruskan mudah diserang kembali.
2.2.5.4 Tingkat IV :
a) Klien mengeluh batuk, sesak nafas dan nafas berbunyi wheezing.
b) Pemeriksaan fisik dan fungsi paru didapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
2.2.5.5 Tingkat V :
a) Status asmatikus yaitu suatu keadaan darurat medis berupa serangan asma akut yang berat bersifat refrator sementara terhadap pengobatan yang lazim dipakai.
b) Asma pada dasarnya merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel.
c)
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang
2.2.6.1.1 Pemeriksaan laboratorium.
a. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
i. Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinopil.
ii. Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus.
iii. Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
iv. Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
b. Pemeriksaan darah.
i. Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
ii. Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
iii. Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
iv. Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.
2.2.6.2 Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
a) Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
b) Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah.
c) Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru.
d) Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
e) Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
2.2.6.3 Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
2.2.6.4 Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
a. Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise rotation.
b. Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right bundle branch block).
c. Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative.
2.2.6.5 Scanning Paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
2.2.6.6 Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asthma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.
2.2.7 Komplikasi dari Penyakit Asma
Komplikasi yang dapat terjadi pada klien dengan asma adalah pneumotoraks, atelektasis, gagal nafas, bronkhitis dan fraktur iga.
2.2.7.1 Pneumotoraks
Pneumotoraks adalah adanya udara dalam rongga pleura yang diagnosis diyakinkan dengan pemeriksaan sinar tembus dada.
2.2.7.2 Atelektasis
Atelektasis adalah suatu keadaan paru atau sebagian paru yang mengalami hambatan berkembang secara sempurna sehingga aerasi paru berkembang atau sama sekali tidak terisi udara.
2.2.7.3 Gagal Nafas
Gagal napas merupakan suatu keadaan dimana paru tidak lagi dapat memenuhi fungsi primernya dalam pertukaran gas, yaitu oksigenasi darah arteria dan pembuangan karbon dioksida.
2.2.7.4 Bronkhitis
Bronkitis adalah hipersekresi mukus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama tiga bulan pertahun atau paling sedikit dalam dua tahun berturut-turut pada pasien yang diketahui tidak ada penyebab lainnya.
2.2.7.5 Fraktur Iga
Fraktur pada iga (costae) adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang / tulang rawan yang disebabkan oleh ruda paksa pada spesifikasi lokasi pada tulang costa.
2.2.8 Asuhan Keperawatan Penyakit Asma
2.2.8.1 Pengkajian
a. Identitas klien
1) Riwayat kesehatan masa lalu : riwayat keturunan, alergi debu, udara dingin.
2) Riwayat kesehatan sekarang : keluhan sesak napas, keringat dingin.
3) Status mental : lemas, takut, gelisah.
4) Pernapasan : perubahan frekuensi, kedalaman pernafasan.
5) Gastro intestinal : adanya mual, muntah.
6) Pola aktivitas : kelemahan tubuh, cepat lelah
b. Pemeriksaan fisik
Dada :
1) Contour, Confek, tidak ada defresi sternum.
2) Diameter antero posterior lebih besar dari diameter transversal.
3) Keabnormalan struktur Thorax.
4) Contour dada simetris.
5) Kulit Thorax ; Hangat, kering, pucat atau tidak, distribusi warna merata.
6) RR dan ritme selama satu menit.
Palpasi :
1) Temperatur kulit
2) Premitus : fibrasi dada
3) Pengembangan dada
4) Krepitasi
5) Massa
6) Edema
Auskultasi
1) Vesikuler
2) Broncho vesikuler
3) Hyper ventilasi
4) Rochi
5) Wheezing
6) Lokasi dan perubahan suara napas serta kapan saat terjadinya.
2.2.8.2 Diagnosa Keperawatan
Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi mukus.
Tujuan :Jalan nafas kembali efektif.
Kriteria hasil :Sesak berkurang, batuk berkurang, klien dapat mengeluarkan sputum, wheezing berkurang/hilang, vital dalam batas normal keadaan umum baik.
Intervensi :
a) Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, misalnya : wheezing, ronkhi.
Rasional : Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas. Bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi (empysema), tak ada fungsi nafas (asma berat).
b) Kaji / pantau frekuensi pernafasan catat rasio inspirasi dan ekspirasi.
Rasional : Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan selama strest/adanya prosesinfeksi akut. Pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang dibanding inspirasi.

c) Kaji pasien untuk posisi yang aman, misalnya : peninggian kepala tidak duduk pada sandaran.
Rasional : Peninggian kepala tidak mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi.
d) Observasi karakteristik batuk, menetap, batuk pendek, basah. Bantu tindakan untuk keefektipan memperbaiki upaya batuk.
Rasional : batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya pada klien lansia, sakit akut/kelemahan.
e) Berikan air hangat.
Rasional : penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.
f) Kolaborasi obat sesuai indikasi.
Bronkodilator spiriva 1×1 (inhalasi).
Rasional : Membebaskan spasme jalan nafas, mengi dan produksi mukosa.

2.2.8.2 Diagnosa 2 :
Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru.
Tujuan :Pola nafas kembali efektif.
Kriteria hasil :Pola nafas efektif, bunyi nafas normal atau bersih, TTV dalam batas normal, batuk berkurang, ekspansi paru mengembang.
Intervensi :
1) Kaji frekuensi kedalaman pernafasan dan ekspansi dada. Catat upaya pernafasan termasuk penggunaan otot bantu pernafasan / pelebaran nasal.
Rasional : kecepatan biasanya mencapai kedalaman pernafasan bervariasi tergantung derajat gagal nafas. Expansi dada terbatas yang berhubungan dengan atelektasis dan atau nyeri dada
2) Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas seperti krekels, wheezing.
Rasional : ronki dan wheezing menyertai obstruksi jalan nafas / kegagalan pernafasan.
3) Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi.
Rasional : duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernafasan.
4) Observasi pola batuk dan karakter sekret.
Rasional : Kongesti alveolar mengakibatkan batuk sering/iritasi.
5) Dorong/bantu pasien dalam nafas dan latihan batuk.
Rasional : dapat meningkatkan/banyaknya sputum dimana gangguan ventilasi dan ditambah ketidak nyaman upaya bernafas.
6) Kolaborasi
• Berikan oksigen tambahan
• Berikan humidifikasi tambahan misalnya : nebulizer
Rasional : memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas, memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu pengenceran sekret.

2.2.8.3 Diagnosa 3 :
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi.
Kriteria hasil : Keadaan umum baik, mukosa bibir lembab, nafsu makan baik, tekstur kulit baik, klien menghabiskan porsi makan yang disediakan, bising usus 6-12 kali/menit, berat badan dalam batas normal.
Intervensi :
1) Kaji status nutrisi klien (tekstur kulit, rambut, konjungtiva).
Rasional : menentukan dan membantu dalam intervensi selanjutnya.
2) Jelaskan pada klien tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh.
Rasional : peningkatan pengetahuan klien dapat menaikan partisipasi bagi klien dalam asuhan keperawatan.
3) Timbang berat badan dan tinggi badan.
Rasional : Penurunan berat badan yang signifikan merupakan indikator kurangnya nutrisi.
4) Anjurkan klien minum air hangat saat makan.
Rasional : air hangat dapat mengurangi mual.
5) Anjurkan klien makan sedikit-sedikit tapi sering
Rasional : memenuhi kebutuhan nutrisi klien.
6) Kolaborasi
• Konsul dengan tim gizi/tim mendukung nutrisi.
Rasional : menentukan kalori individu dan kebutuhan nutrisi dalam pembatasan.
• Berikan obat sesuai indikasi.
• Vitamin B squrb 2×1.
Rasional : defisiensi vitamin dapat terjadi bila protein dibatasi.
• Antiemetik rantis 2×1
Rasional : untuk menghilangkan mual / muntah.

2.2.8.4 Diagnosa 4 :
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
Tujuan : Klien dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.
Kriteria hasil :KU klien baik, badan tidak lemas, klien dapat beraktivitas secara mandiri, kekuatan otot terasa pada skala sedang.
Intervensi :
1) Evaluasi respons pasien terhadap aktivitas. Catat laporan dyspnea peningkatan kelemahan/kelelahan dan perubahan tanda vital selama dan setelah aktivitas.
Rasional : menetapkan kebutuhan/kemampuan pasien dan memudahkan pilihan intervensi.
2) Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat.
Rasional : Tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk menurunkan kebutuhan metabolik, menghemat energi untuk penyembuhan.
3) Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat dan atau tidur.
Rasional : pasien mungkin nyaman dengan kepala tinggi atau menunduk kedepan meja atau bantal.
4) Bantu aktivitas keperawatan diri yang diperlukan. Berikan kemajuan peningkatan aktivitas selama fase penyembuhan.
Rasional :meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
5) Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi.
Rasional : menurunkan stress dan rangsangan berlebihan meningkatkan istirahat.

2.2.8.3 Evaluasi
1) Jalan nafas kembali efektif.
2) Pola nafas kembali efektif.
3) Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi.
4) Klien dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.
5) Pengetahuan klien tentang proses penyakit menjadi bertambah.




2.3 CHRISTIC FIBRIS
2.3.1 Definisi
Cystic fibrosis merupakan gangguan monogenic yang ditemukan sebagai penyakit multisistem. Penyakit ini ditandai dengan adanya infeksi bakteri kronis pada saluran napas yang pada akhirnya akan menyebabkan bronciectasis dan bronchiolectasis, insufisiensi exokrin pancreas, dan disfungsi intestinal, fungsi kelenjar keringat abnormal, dan disfungsi urogenital.
Cystic fibrosis adalah suatu gangguan kronik multisistem yang ditandai dengan infeksi endobronkial berulang, penyakit paru obstruktif progresif dan insufisiensi pankreas dengan gangguan absorbsi/malabsorbsi intestinal. Kelainan ini merupakan kelainan genetik yang bersifat resesif heterogen dengan gambaran patobiologis yang mencerminkan mutasi pada gen-gen regulator transmembran fibrosis kistik (cystic fibrosis transmembrane conductance regulator/CFTR).
2.3.2 Etiologi
Cystic fibrosis merupakan penyakit yang diwariskan secara resesive autosomal. Gen yang bertanggung jawab terhadap terjadinya CF telah diidentifikasi pada tahun 1989 sebagai cystic fibrosis transmembrane-conductance regulator glycoprotein (CFTR gene) yang terletak pada lengan panjang kromosom no 7. Protein CFTR merupakan rantai polipeptida tunggal, mengandung 1480 asam amino, yang sepertinya berfungsi untuk cyclic AMP–regulated Cl– channel dan dari namanya, mengatur channel ion lainnya. Bentuk CFTR yang terproses lengkap ditemukan pada membran plasma di epithelial normal. Penelitian biokimia mengindikasikan bahwa mutasi F508 menyebabkan kerusakan proses dan degradasi intraseluler pada protein CFTR. Sehingga alpanya CFTR pada membrane plasma merupakan pusat dari patofisiologi molecular akibat mutasi F508 dan mutasi kelompok I-II lainnya. Namun, mutasi kelompok III-IV menghasilkan protein CFTR yang telah diproses lengkap namun tidak berfungsi atau hanya sedikit berfungsi pada membrane plasma.
Gen CFTR ini membuat protein yang mengontrol perpindahan garam dan air di dalam dan di luar sel di dalam tubuh. Orang dengan cystic fibrosis, gen tersebut tidak bekerja dengan efektif. Hal ini menyebabkan kental dan lengketnya mucus serta sangat asinya keringat yang dapat menjadi cirri utama dari cystic fibrosis. Mekanisme terjadinya malfungsi sel pada cystic fibrosis tidak diketahui secara pasti. Sebuah teori menyebutkan bahwa kekurangan klorida yang terjadi pada protein CFTR menyebabkan akumulasi secret di paru-paru yang mengandung bakteri yang tidak terdeteksi oleh system imun. Teori yang lain menyebutkan bahwa kegagalan protein CFTR menyebabkan peningkatan perlawanan produksi sodium dan klorida yang menyebabkan pertambahan reabsorbsi air, menyebabkan dehidrasi dan kekentalan mucus. Teori-teori tersebut mendukung sebagian besar observasi tentang terjadinya kerusakan di cystic fibrosis yang menghambat jalanya organ yang dibuat dengan secret yang kental. Hambatan ini menyebabkan perubahan bentuk dan infeksi di paru-paru, kerusakan pada pancreas karena akumulasi enzim digestive, hambatan di usus halus oleh kerasnay feses dll.
2.3.3.Manifestasi Klinis
Manifestasi cystic fibrosis yang umum pada tahun pertama atau kedua kehidupan pada traktus respiratorius yang paling sering batuk dan/atau infiltrate pulmoner. Sebagian besar gejala dari cystic fibrosis adalah disebabkan oleh banyaknya mucus. Gejala umumnya adalah:
a. Batuk persisten yang disertai sputum dan semakin memburuk
b. Batuk dari efek bronkitis dan pneumonia yang dapat menimbulkan inflamasi dan kerusakan permanen paru
c. peningktan volume sputum
d. Penurunan fungsi pulmoner
e. Obstruksi hidung
f. Dispnea
g. Nasal discharge yang makin memburuk
h. Demam
i. Dehidrasi
j. Diare
k. Nafsu makan besar tetapi tidak menambah berat badan dan pertumbuhan (cenderung menurun). Ini hasil dari malnutisi kronik karena tidak mendapatkan cukup nutrisi dari makanan
l. Nyeri dan ketidaknyamanan pada perut karena terlalu banyak gas dalam usus. Hal ini bisa disebabkan oleh disfungsi intestinal.

2.3.4 Patofisiologi
Tanda biofisika diagnostic pada CF epitel saluran napas yaitu adanya peningkatan perbedaan potensi listrik transepitelial (Potential difference/PD). Transepitelial PD menunjukkan jumlah transport ion aktif dan resistensi epithelial terhadap aliran ion. CF saluran napas memperlihatkan ketidaknormalan pada absorbsi Na+ dan Sekresi Cl- aktif (Gambar II). Defek sekresi Cl memperlihatkan alpanya cyclic AMP–dependent kinase dan protein kinase C–regulated Cl– transport yang dimediasi oleh CFTR. Suatu pemeriksaan yang penting mengatakan bahwa adanya perbedaan molekul pada Ca2+-activated Cl– channel (CaCC) yang terlihat pada membrane apical. Channel ini dapat menggantikan CFTR dengan imbas pada sekresi Cl- dan dapat menjadi target terapeutik berpotensial. Regulasi abnormal dari absorbsi Na+ merupakan gambaran inti pada CF di epitel saluran napas. Abnormalitas ini menunjukkan fungsi kedua dari CFTR, yaitu sebagai tonic inhibitor pada channel Na+. Mekanisme molekuler yang memediasi aksi CFTR belum diketahui.
Klirens mucus merupakan pertahanan innate primer saluran napas terhadap infeksi bakteri yang terhisap. Saluran napas mengatur jumlah absorbsi aktif Na+ dan sekresi Cl- untuk mengatur jumlah cairan (air), misal “hidrasi”, pada permukaan saluran napas untuk klirens mucus yang efisien. Hipotesis utama tentang patofisiologi CF saluran napas adalah adanya regulasi yang salah terhadap absorbsi Na+ dan ketidakmampuan untuk mengsekresi Cl- melalui CFTR, mengurangi volume cairan pada permukaan saluran napas, baik penebalan mucus, maupun deplesi cairan perisiliar mengakibatkan adhesi mucus pada permukaan saluran napas. Adhesi (tarik-menarik benda yang sejenis) mucus menyebabkan kegagalan untuk membersihkan mucus dari saluran napas baik melalui mekanisme siliar dan batuk. Tidak ditemukannya keterkaitan yang tegas antara mutasi genetic dan keparahan penyakit paru-paru menyimpulkan adanya peran penting dari gen pemodifikasi dan interaksi antara gen dan lingkungan.
2.3.5 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk menegakkan diagnosis CF antara lain :
2.3.5.1 Pemeriksaan laboratorium
a. Test kandungan chlorida keringat (sweat chloride test) :
• Dilakukan pengumpulan dan analisis komposisi keringkat dengan metoda iontophoresis pilocarpine.
• Konsentrasi ion klorida sekitar 60 mEq/L keatas merupakan khas diagnostik. Nilai normal rata-rata konsentrasi klorida dibawah 30 mEq/L.
• Nilai antara 30 – 60 mEq/L mungkin kondisis heterozygous carriers, dan tidak dapat diidentifikasi secara akurat menggunakan test ini (SCT).
b. Test Prenatal :
• Pada masa kehamilan dapat dilakukan pemeriksaan melalui test villi korionik (chronic villous testing) pada usia kehamilan sekitar 10-12 minggu.
• Pemeriksaan ini hanya dilakukan untuk mendiagnosis CF yang akan diterminasi kehamilannya. Pemeriksaan prenatal ini sudah jarang dilakukan karena harapan hidup pasien-pasien dengan KF sekarang telah meningkat.
2.3.5.2 Pemeriksaan radiologis CT scan
Pemeriksaan CT scan paranasal dilakukan melalui potongan aksial dan koronal tanpa kontras. Umumnya pasien dengan CF memberiksan hasil :
a. Lebih dari 90% menunjukkan bukti adanya sinusitis kronik yang ditandai dengan opaksifikasi, pergeseran ke medial dinding lateral kavum nasi pada daerah meatus media, serta demineralisasi prosesus unsinatus.
b. Kelainan berupa buging ke arah medial dari kedua dinding lateral hidung disertai gambaran mukus viskus di sinus maksila terdapat hampir pada 12% pasien dan merupakan stadium mucucelelike yang harus segera ditangani dengan pembedahan.
c. Sinusitis kronik sering menyebabkan gangguan peneumatisasi dan hipoplasia dari sinus maksila dan etmoid, juga menyebabkan terganggunya pembentukan sinus frontalis. Pasien-pasien adolesen dengan CF sering didapatkan tidak terbentuknya sinus frontalis pada gambaran CT scannya.
2.3.5.3. Pemeriksaan Kultur
Aspirasi sinus penting dilakukan untuk pemeriksaan kultur pada pasien-pasien CF untuk mendeteksi adanya keterlibatan infeksi kuman pseudomonas.
a. Pengambilan kultur sebaiknya dilakukan aspirasi transantral sinus maksila dan tak ada gunanya mengambil di daerah nasofaring, tenggorok atau septum. Dari penelitian organisme yang sering ditemukan dari hasil kultur pasien-pasien dengan CF adalah pseudomonas (65%), haemophilus influenzae (50%), Alpha-haemolticstreptococci (25%) dan kuman-kuman anaerob seperti peptostreptococcus serta Bactroides (25%). Sensitivitas terapi organisme-organisme dengan antibiotika sama sensitivnya pada pasien-pasien CF dibanding dengan yang nonCF, kecuali pada kuman pseudomonas.
b. Pasien-pasien dengan sinusitis akut tanpa CF kuman penyebabnya umumnya terdiri dari Pneumococcus, H Influenza dan Moraxella catarrhalis, sedang jika sinusitis kronik selain kuman diatas ditambah dengan organisme Staphylococcus aureus dan kuman anaerob seperti Bacteroides, Veillonella dan Fusobacterium.


Tes carrier cystic fibrosis.
Untuk menentukan adanya carrier CF, jika:
1. Memiliki keluarga dengan riwayat CF
2. Memiliki hubungan dengan seseorang yang menderita CF.
2.3.6 Asuhan Keperawatan Chrisric Fibrosis (CF)
2.3.6.1 Pengkajian
a. Identitas pasien
b. Keluhan utama
c. Riwayat penyakit sekarang
d. Riwayat penyakit dahulu
e. Riwayat penyakit keluarga
f. Pemeriksaan fisik
2.3.6.2 Diagnosa
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret mukus yang kental dan banyak serta upaya batuk buruk.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi jalan napas
3. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial
2.3.6.3 Intervensi
1. diagnosa 1 : Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret mukus yang kental dan banyak serta upaya batuk buruk.
a. Tujuan : Klien tidak mengalami aspirasi
b. Kriteria Hasil : Menunjukan batuk yang efektif dan peningkatan pertukaran udara dalam paru-paru

Intervansi :
a. Auskultasi bunyi napas. Catat adanya bunyi napas misalnya mengi, krekels, ronki.
Rasional : Pemberian espektoran dapat membantu mengencerkan secret sehingga secret lebih mudah dikeluarkan.
b. Lakukan fisioterapi untuk mengeluarkan secret dan berikan pasien posisi yang nyaman, missal peninggian kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur (posisi semi fowler / fowler).
Rasional : Nebulisasi dapat membantu pengeluaran secret yang kental.
c. Bantu klien untuk mengencerkan sputum dengan kolaborasi pemberian espektoran untuk meningkatkan bersihan jalan napas.
d. Berikan nebulisasi dengan larutan dan alat yang tepat sesuai ketentuan.
e. Observasi klien dengan ketat setelah terapi aerosol dan fisioterapi dada untuk mencegah aspirasi akibat sputum banyak yang tiba-tiba mengencer.
2.Diagnosa 2 : Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi jalan napas
a. Tujuan : Mempertahankan oksigenasi atau ventilasi adekuat
b. Kriteria hasil :
• Pasien memperlihatkan frekuensi napas efektif
• Bebas dari distress pernapasan
• GDA dalam rentang normal.


Intervensi :
a. Pertahankan jalan napas yang paten
b. Posisikan untuk mendapatkan efisiensi ventilator maksimum seperti posisi Fowler tinggi atau duduk, membungkuk ke depan.
c. Pantau tanda-tanda vital, gas darah arteri (GDA), dan oksimetri nadi untuk mendeteksi/mencegah hipoksemia.
d. Berikan suplemen oksigen sesuai ketentuan/kebutuhan. Pantau pasien dengan ketat karena narkosis karbondioksida akibat oksigen merupakan bahaya dari terapi oksigen pada pasien dengan penyakit paru kronis.
e. Motivasi latihan fisik yang sesuai kondisi pasien.
f. Mencegah komplikasi kegagalan napas.
g. Posisi fowle / semi fowler dapat mempermudah fungsi pernapasan dan dapat menurunkan kolaps jalan napas , dispneu, dan kerja napas dengan menggunakan gravitasi.









BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penyakit paru Obstruktur Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonari Diseases (COPD) merupakan suatu istilh yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara sebagai gambaran patologis utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah asma bronkial, bronkitis kronis, emifisema paru-paru.
Asma adalah suatu kondisi dimana jalan udara dalam paru-paru meradang hingga lebih sensitive terhadap factor khusus (pemicu) yang menyebabkan jalan udara berkurang dan mengakibatkan sesak napas dan bunyi napas mengikik. Tanda dan gejala penyakit asma napas mengikik, sesak napas, batuk, dan dada terasa sesak.
Cystic fibrosis merupakan gangguan monogenic yang ditemukan sebagai penyakit multisistem. Penyakit ini ditandai dengan adanya infeksi bakteri kronis pada saluran napas yang pada akhirnya akan menyebabkan bronciectasis dan bronchiolectasis, insufisiensi exokrin pancreas, dan disfungsi intestinal, fungsi kelenjar keringat abnormal, dan disfungsi urogenital.





DAFTAR PUSTAKA


Somantri,irman.2009.Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan.Edisi 1.Jakarta:Selemba Medika.
Somantri,irman.2009.Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan.Edisi 2.Jakarta:Selemba Medika.
http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com/2011/04/asuhan-keperawatan-klien-dengan.html. tanggal 15 September 2012
http://www.news-medical.net/health/Chronic-Obstructive-Pulmonary-Disease-Causes-%28Indonesian%29.aspx. Tanggal 15 September 2012
http://medianers.blogspot.com/2011/08/ppok-penyakit-paru-obstruktif-kronik.html. 15 September 2012
http:// asuhan keperawatan pada klien asma _ NursingBegin.com.htm. tanggal 12 September 2012
http://id.wikipedia.org/wiki/Asma. tanggal 12 September 2012
http://cetrione.blogspot.com. (Cystic Fibrosis, Chapter 253, Harrison's Principles of Internal Medicine 17th ed.,diterjemahkan oleh Husnul Mubarok,S.ked).tanggal 14 September 2012

4 komentar: