Minggu, 24 Agustus 2014

askep combustio (luka bakar)

BAB I
TINJAUAN TEORI
LUKA BAKAR
1.1 Pengertian
1. Luka bakar terminal adalah agen pencedera dapat berupa api, air panas, atau kontak dengan objek panas. Luka bakar api berhubungan dengan asap atau suhu agen. (Doengoes, 2000:804)
2. Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik, bahan kimia dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam (Irna Bedah RSUD Dr.Soetomo, 2001).
3. Luka bakar merupakan luka yang unik diantara bentuk-bentuk luka lainnya karena luka tersebut meliputi sejumlah besar jaringan mati (eskar) yang tetap berada pada tempatnya untuk jangka waktu yang lama. (Smeltzer, 2001 : 1911)
4. Luka bakar adalah luka yang terjadi akibat panas, bahan kimia, korosif, listrik atau radiasi dengan rentang keparahan mulai darai luka superficial yang menyangkut kerusakan epidermis sampai luka bakar yang mengenai seluruh ketebalan kulit dimana semua elemen kulit mengalami kehancuran. (Manajemen luka, 2002)
1.2 Etiologi
5. Penyebab luka bakar (Smeltzer, 2001 : 1911)
1. Luka bakar suhu tinggi (Thermal Burn)
a. Gas.
b. Cairan.
c. Bahan padat (solid)
2. Luka bakar bahan kimia (Chemical Burn)
3. Luka bakar sengatan listrik (Electrical Burn)
4. Luka bakar radiasi (Radiasi Injury)
1.3 Fisiologis
Kulit adalah lapisan jaringan yang terdapat pada bagian luar menutupi dan melindungi permukaan tubuh. Berhubungan dengan selaput lender yang melapisi rongga-rongga, lubang-lubang masuk pada permukaan kulit bermuara kelenjar keringat dan kelenjar mukosa :
Lapisan kulit :

1. Epidermis
Terdiri dari beberapa lapisan sel :
a. Stratum korneum.
b. Stratum lusidium.
c. Stratum spinosum.
d. Stratum basal
2. Dermis
Dermis terdiri dari 2 lapisan :
a. Bagian atas parspalilaris (Stratum papilaris)
b. Bagian bawah, retikularis (Stratum retikularis)
3. Subkutis
Terdiri dari kumpulan-kumpulan sel-sel lemak dimana dan diantara gerombolan ini berjalan serabut jaringan ikat dermis. Sel-sel ini bentuknya bulat dengan intinyaterdesak kepinggir, sehingga ini membentuk seperti cincin.
Lapisan lemak ini disebut penikulus adipasus, yang tebalnya tidak sama pada tiap-tiap tempat dan juga pembagian antara laki-laki dan perempuan tidak sama (berlainan).


















1.4 Patofisiologis



































1.5 Klasifikasi
1. Menurut derajat luka bakar
1) Sebagian epidermis hangus ; sebagian lagi masih vital.
2) Hanya elemen epitel, misalnya kelenjar keringat yang masih vital
3) Tidak ada elemen epitel yang vital
4) Jaringan lemak, otot, bahkan tulangpun mungkin hangus
2. Menurut luasnya luka bakar
Wallace membagi tubuh atas bagian 9%/kelipatan dari 9 yang terkenal dengan nama “Rule Of Nine” atau “Rule Of Wallace”.
Dewasa:
Kepala dan leher .....................................9%
Lengan masing-masing 9%...................18%
Badan depan 18%
Badan belakang 18% ............................36%
Tungkai masing-masing 18%................36%
Genetalia dan perineum.......................... 1%
Jumlah : 100%







Anak :
Antara umur 15 tahundan 5 tahun untuk tiap tahun, tiap tungkai berselisih 0,2%, antara umur 5 tahun dan 1 tahun, untuk tungkai berselisih 0,4%
3. Menurut berat ringannya luka bakar
American collage of surgeon membaginya dalam :
1) Parah-critical
(1) Tingkat II 30%/lebih
(2) Tingkat III 10%/lebih
(3) Tingkat III pada tangan, kaki, muka
(4) Dengan adanya komplukasi pernapasan, jantuing, fraktura, soft tissue yang luas.

2) Sedang-moderate
(1) Tingkat II 15%-30%
(2) Tingkat III 5%-10%

3) Ringan-minor
(1) Tingkat II kurang 15%
(2) Tingkat III kurang 1%

1.6 Manifestasi klinis
Gambaran klinik ada 4 tingkatan :
1. Luka bakar derajat I
luka tampak merah muda terang sampai merah edema minimal dan tidak ada lepuh, kulit sering kering dan hangat (melibatkan Epidermis saja)
2. Luka bakar derajat II
Luka tampak merah muda sampai pucat dengan edema sedang dan lepuhan. Luka ini lebih kering dari ketebalan luka bakar sedang (melibatkan Epidermis dan Dermis)
3. Luka bakar derajat III
Luka tampak bervariasi dari putih, merah buah ceri, sampai coklat atau hitam dengan lepuh tak umum luka ini kering, tekstur kulit samak (melibatkan semua lapisan kulit, lemak subkutis, dan dapat melibatkan otot, syaraf dan aliran darah.
1.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Hitung darah lengkap : peningkatan Ht awal menunjukkan hemokonsentrasi berhubungan dengan perpindahan/kehilangan cairan
2. SDP : leukositosis dapat terjadi berhubungan dengan selpada sisi luka dan respon inflamasi terdapat cedera
3. GDA : dasar penting untuk kecurigaan cedera inhalasi
4. COHBG(karboksi hemoglobin) : peningkatan lebih dari 15% mengindikasikan keracunan karbon monooksida/cedera inhalasi
5. Elektrolit serum : kalium dapat meningkat pada awal berhubungan dengan cedera jaringan/kerusakan SDM dan penurunan fungsi ginjal; hipokalemia dapat terjadi bila mulai diuresis; magnesium mungkin menurun
6. Natrium urine random : lebih besar dari 20mgE/L mengindikasikan kelebihan resusitasi cairan; kurang dari 10mgE/L menduga ketidakadekuatan resusitasi cairan

7. Alkalin fosfat : peningkatan berhubungan dengan perpindahan cairan interstisial/gangguan pompa natrium
8. Glukosa serum : peninggian menunjukkan respon stres
9. Albumin serum : rasio albumin/globulin mungkin terbalik berhubungan dengan kehilangan protein pada edema cairan
10. BUN/Creatinin : peninggian menunjukkan penurunan perfusi /fungsi ginjal; namun kreatinin dapat meningkat karen acedera ringan
11. Urine : warna hitam kemerahan pada urine berhubungan dengan mioglobin
12. Foto rongen dada : dapat tampak normal pada pasca luka bakar dini meskipun dengan cedera inhalasi; namun cedera ini inhalasi yang sesungguhnya akan ada saat progresif tanpa foto dada
13. Bronkoskopi serap optik : berguna dalam diagnosa luas cedera inhalasi; hasil dapat meliputi edema, perdarahan/tukak pada saluran pernafasan
14. Loop aliran volume : memberikan pengkajian non-invasif terhadap efek/luasnya cedera inhalasi
15. Skan paru : mungkin dilakukan untuk menentukan luasnya cedera inhalasi
16. EKG : tanda iskemia miokardial/disretmia dapat terjadi pada luka bakar listrik
17. Fotografi luka bakar : memberikan catatan untuk penyembuhan luka bakar selanjutnya.
1.8 Penatalaksanaan
1. Perawatan khusus
1) Perawatan pertama
a) Setelah terbakar dinginkan luka dengan air dingin, terbaik temperatur 200C selama15 menit
b) Luka tingkat I hanya dibersihkan dan diberi analgetik
c) Letakkan luka pada tempat yang bersih
2) Perawatan definitif
a) Perawatan tertutup
Setelah bersih ditutup dengan selapis kain steril berlubang-lubang yang mengandung vaselin dengan atau tanpa antibiotic
b) Perawatan terbuka
Eksudat tang keluar dari luka debris akaan mengering menjadi lapisan Eschar yang bertindak sebagai verband, ini kaku dan relatif kedap bakteri
c) Perawatan semi terbuka
Perawatan ini tidak hanya mengandalkan eschar sebagai verband tetapi diberikan obat-obat lokal yang berbentuk krem yang mudah dibersihkan
3) Obat-obat lokal
a. Ag No3 ½% diberikan dalam pembalut yang selalu basah untuk mengatasi pseudomonas
b. Sulfamylon dalam cream 10% untuk mengatasi pseudomonas
4) Mandi
a. Menggunakan larutan desinfektan savlon 1:30
b. K. Permanganat 1:10.000
5) Skin Grafting
Transplantasi ini penting untuk mempercepat penyembuhan, mengurangi kehilangan cairan dan energy.

6) Antibiotik sistemik
Untuk mengatasi bakter-bakteri gram positif
7) Excisi dini
Ini dilakukan seperti pada skin graft
2. Perawatan umum
1) Mengatasi luka bakar dengan menghentikan proses luka bakar
2) Menciptakan jalan nafas patenresusitasi cairan agresif untuk memperbaiki kehilangan volume plasma
3) Perawatan luka bakar
a. Membersihkan luka
b. Membalut luka















BAB II
TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian
2.1.1 Anamnesa
Dapatkan riwayat luka bakar. Tanyakan tentang :
1. Penyebab luka bakar-kimia, termal atau listrik
2. Waktu luka bakar
3. Tempat dimana luka bakar terjadi
4. Adanya masalah medis yang menyertai
5. Apakah ada alergi
6. Tanggal terakhir imunisasi tetanus
7. Obat-obatan yang digunakan bersamaan
8. Lakukan pengkajian luka bakar
a. Luas luka
b. Kedalaman luka
c. Inspeksi bagian luar kulit terhadap luka bakar listrik,pada bagian luar sering lebih berat dari pada bagian dalam luka
9. Kaji terhadap cedera inhalasi
10. Periksa hasil pemeriksaan laboratorium
11. Kaji pemahaman pasien dan orang terdekat tentang tindakan, masalah, dan perasaan tentang cedera
2.1.2 Pemeriksaan Fisik
1. Aktivitas/istirahat
Tanda
a. Penurunan kekuatan, tahanan
b. Keterbatasan rentang gerak pada area yang sakit
c. Gangguan massa otot, perubahan tonus
2. Sirkulasi
Tanda
a. Hipotensi (syok)
b. Penurunan nadi perifer distal pada ektremitas yang cidera.vasokonstrisi perifer umum dengan kehilangan nadi, kulit putih dan dingin ( syok listrik)
c. Takikardi (syok /ansietas/nyeri)
d. Disritmia (syok istrik)

e. Pembentukan oedema jaringan (semua luka bakar)
3. Integritas ego
Gejala
Masalah tentangkeluarga, pekerjaan, keuangan, kecacatan
Tanda
Ansieta, menangis, ketergantungan, menyangkal, menarik diri, marah
4. Eliminasi
Tanda
a. Haluaran urine menurun/tyak ada selama masa darurat. Warna mungkin hitam kemerahan bila jerjadi mioglobin, mengindikasikan kerusakan otot dalam.
b. Diuresis (setealah kebocoran kapiler dan mobilisasi cairan ke dalam sirkulasi).
c. Penurunan bising usus/tak ada, khususnya pada luka bakar kutaneum lebih besar dari 20% sebagai stress penurunan motilitas /peristaltik gastrik
5. Makanan/cairan
Tanda
a. Edema jaringan umum
b. Anoreksia, mual/muntah
6. Neurosensori
Gejala
Area kebas. Kesemutan
Tanda
a. Perubahan orientasi, afek, perilaku
b. Penurunan reflek tendon dalam (RTD) pada cedera ekstremitas
c. Aktivitas kejang (syok listrik)
d. Laserasi korneal, kerusakan retinal, penurunan ketajaman penglihatan (syok listrik)
e. Ruptur membran timpanik (syok listrik)
f. Paralisis (cedera listrik pada aliran saraf)
7. Nyeri/kenyamanan
Gejala
Nyeri
8. Pernapasan
Gejala
Terkurung ruang tertutup, terpajan lama (kemungkinan cedera inhalasi).
Tanda
a. Sesak, batuk, mengi, partikel karbon dalam sputum, ketidakmampuan dalam menelan sekresi oral, dan sianosis,indikasi cedera inhalasi.
b. Pengembangan torak mungkin terbatas mungkin adanya luka bakar lingkar lengan dada.
c. Jalan nafas atas stridor/mengi (obstruksi sehubungan dengan laringospasme, edema laringeal)
9. Keamanan
Tanda
Destruksi jaringan dalam mungkin tidak terbukti selama 3-5 hari sehubungan dengan proses trombus mikrovaskuler pada beberapa luka
2.2 Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan pada volume cairan (kekurangan) berhubungan dengan luka bakar luas.
2. Risiko tinggi terhadap Infeksi berhubungan dengan ketahanan primer menurun.
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan permukaan kulit karena distruksi lapisan kulit.
4. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkia.
5. Risiko tinggi terhadap kerusakan perfusi jaringan berhubungan dengan luka bakar melingkari ekstermitas atau luka bakar listrik.
6. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan cedera luka bakar.
7. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan atau disfagia.
2.3 Perencanaan tindakan
1. Perubahan pada volume cairan (kekurangan) berhubungan dengan luka bakar luas.
Tujuan :
Pemulihan cairan optimal dan keseimbangan elektrolit serta perfusi organ vital
Kriteria hasil.
Pasien akan :
Menunjukkan perbaikan keseimbangan cairan dibuktikan oleh haluaran urine individu adekuat, tanda vital stabil, membran mukosa lembab.


Intervensi dan Rasional.
1) Awasi tanda vital, CVP, perhatikan pengisian kapiler dan kekuatan nadi perifer.
Rasional : Memberikan pedoman untuk penggantian cairan dan mengkaji respon kardiovaskuler.
2) Awasi haluaran urine dan berat jenis. Observasi warna urine dan hemates sesuai indikasi.
Rasional : Secara umum penggantian cairan harus dititrasi untuk menyakinkan rata – rata haluaran urine 30 – 50 ml/jam. Urine dapat tampak merah sampai hitam, pada kerusakan otot masif sampai dengan adanya darah dan keluarnya mioglobin. Bila terjadi miglobinuria menyolok, minimal haluaran urine harus 73 – 100 ml /jam untuk mencegah kerusakan nekrosis tubulus.
3) Perkiraan drainase luka dan kehilangan yang tak tampak.
Rasional : Peningkatan permiabilitas kapiler perpindahan protein, proses inflamasi dan kehilangan melalui evaporasi besar mempenmgaruhi volume sirkulasi dan haluaran urine. Khususnya selama 24 – 72 jam pertama.
4) Pertahankan pencatatan kumulatif jumlah dan tipe pemasukan cairan.
Rasional : Penggantian masif atau cepat dengan tipe cairan berbeda dan fluktuasi kecepatan pemberian memerlukan tabulasi ketat untuk mencegah ketidakseimbangan dan kelebihan cairan.
5) Timbang berat badan setiap hari.
Rasional : Penggantian cairan tergantung pada BB pertama dan perubahan selanjutnya. Peningkatan BB 15% - 20% pada 72 jam pertama selama penggantian cairan dapat diantipasi untuk menggembalikan keberat sebelum terbakar kira – kira 10 hari setelah terbakar.
6) Kolaborasi dalam pemasangan kateter urine tak menetap.
Rasional : Memungkinkan observasi ketat fungsi ginjal dan mencegah statis dan refleks urine, retensi urine dengan produk sel – sel jaringan yang rusak dapat menimbulkan disfungsi dan infeksi ginjal.
7) Pasang /pertahankan ukuran kateter IV.
Rasional : Memungkinkan infus cairan cepat.
8) Berikan penggantian cairan IV yang dihitung, elektrolit, plasma, albumin.
9) Resusitasi cairan meningkatkan kehilangan cairan/ elektrolit dan membantu mencegah komplikasi contoh ; syok, NTA, penggantian formula bervariasi.
2. Risiko tinggi terhadap Infeksi berhubungan dengan ketahanan primer menurun.
Tujuan :
Tetap bebas dari infeksi
Kriteria Hasil
Tak ada demam, pembentukan jaringan granulasi
Intervensi dan Rasional
1) Awasi/batasi pengunjung
Rasional : mencegah kontaminasi silang dari pengunjung
2) Periksa area yang tak terbakar secara rutin
Rasional : infeksi oportunistik seringkali terjadi sehubungan dengan depresi sistem imun dan/atau proliferasi flora normal tubuh selama terapi antibiotik sistemik
3) Periksa luka tiap hari
Rasional : mengidentifikasi adanya penyembuhan dan memberikan deteksi dini infeksi luka bakar
4) Anjurkan latihan gerak aktif setiap 2 jam
Rasional : untuk mencegah pengencangan jarigan parut progresifdan kontraktur.
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan permukaan kulit karena distruksi lapisan kulit.
Kriteria hasil.
Pasien akan :
- Menunjukkan regenerasi jaringan.
- Mencapai penyembuhan tepat waktu pada area luka bakar.
Intervensi dan Rasional.
1) Kaji / catat ukuran, warna, kedalaman luka, perhatikan jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka.
Rasional : Memberikan informasi dasar tentang kebutuhan penanaman kulit dan kemungkinan petunjk tentang sirkulasi pada area graff.
2) Berikan perawatan luka bakar yang tepat dan tindakan kontrol infeksi.
Rasional : Menyiapkan jaringan untuk penanaman dan menurunkan risiko infeksi atau kegagalan graff.
3) Tinggikan area Graff bila mungkin atau tepat dan pertahankan posisi yang diinginkan dan imobilisasi area bila diindikasi.
Rasional : Menurunkan pembengkakkan atau membatasi risiko pemisahan graff.
4. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkia.
Tujuan
Mendemonstrasikan oksigenasi adekuat.
Kriteria Hasil
Frekuensi pernafasan 12-24/menit, warna kulit normal, GDA dalam rentang normal, bunyi nafas bersih, tak ada kesulitan bernafas.
Intervensi dan Rasional
1) Awasi frekuensi, irama, kedalaman pernafasan
Rasional : takipnea, penggunaan otot bantu, sianosis, dan perubahan sputum menunjukkan terjadi distres pernafasa/edema paru dan kebutuhan intervensi medik
2) Hisapan (bila perlu) pada perawatan ekstrem, pertahankan teknik steril
Rasional : membantu mempertahankan jalan nafas bersih, teknik steril menurunkan risiko infeksi
3) Pantau laporan-laporan GDA dan kadar karbondioksida serum
Rasional : untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan. Inhalasi asap dapat merusak alveoli, mempengaruhi pertukaran gas pada membran kapiler alveoli
4) Berikan oksigen pada tingkat yang ditentukan.
Rasional : suplemen oksigen meningkatkan jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan.
5. Risiko tinggi terhadap kerusakan perfusi jaringan berhubungan dengan luka bakar melingkari ekstermitas atau luka bakar listrik.
Faktor risiko meliputi :
- Penurunan/interupsi aliran darah artrial/vena, contoh luka bakar seputar ekstremitas dengan edema.
- Hipovolemik
Kriteria Hasil.
Pasien akan :
Mempertahankan nadi perifer teraaba dengan kualiltas/kekuatan sama, pengisian kapiler baik dan warna normal pada area yang cidera.


Intervensi dan Rasional.
1) Kaji warna, sensasi, gerakan nadi perifer, dan pengisian kapiler pada ekstermitas luka bakar melingkar. Bandingkan dengan hasil pada tungkai yang tak sakit.
Rasional : Pembentukan edema dapat secara cepat menekan pembuluh darah, sehingga mempengaruhi sirkulasi dan meningkatkan stasis vena/edema. Perbedaan dengan tungkai yang tak sakit membantu membedakan masalah sistemik dengan lokal.
2) Tinggikan ekstremitas yang sakit dengan cepat, lepaskan perhiasan/jam tangan, hindari memplester sekitar ekstremitas/jari yang terbakar.
Rasional : Meningkatkan sirkulasi sistemik atau aliran balik vena dan dapat menurunkan edema/pengaruh gangguan lain yang mempengaruhi konstriksi jaringan edema. Peninggian yang lama dapat mengganggu perfusi arterial bila tekanan darah turun/tekanan jaringan meningkat secara berlebihan.
3) Ukur tekanan darah pada ekstremitas yang mengalami luka bakar, lepaskan manset tekanan darah setelah mendapatkan hasil.
Rasional : Bila pembacaan tekanan darah diambil pada ekstremitas yang cidera, dibiarkan manset pada tempatnya dapat meningkatkan pembentukan edema/penurunan perfusi, dan mengubah luka bakar ketebalan parsial menjadi cidera lebih serius.
4) Dorong latihan rentang gerak aktif pada bagian tubuh yang tak sakit.
Rasional : Meningkatkan sirkulasi lokal dan sistemik.
5) Awasi elektrolit, khususnya natrium, kalsium, dan kalium. Berikan terapi penggantian sesuai indikasi.
Rasional : Kehilangan atau perpindahan elektrolit ini mempengaruhi potensial/eksitabilitas membran mokosa, sehingga mengubah konduksi miokard, potensial risiko distritmia dan menurunkan curah jantung atau perfusi jaringan.
6. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan cedera luka bakar.
Tujuan
Mendemonstrasikan hilang dari ketidaknyamanan.
Kriteria Hasil
Menyangkal nyeri, melaporkan perasaan nyaman, ekspresi wajah dan postur tubuh rileks.
Intervensi dan Rasional
1) Tinggikan ekstremitas luka bakar secara periodik
Rasional : peninggian digunakan untuk menurunkan pembentukan edema, setelah perubahan posisi dan peninggian menurunkan ketidaknyamanan serta risiko kontraktur sendi
2) Kaji tingkat nyeri
Rasional : perubahan lokasi, intensitas, karakter nyeri dapat mengidikasikan terjadinya komplikasi
3) Berikan ayunan di atas tempat tidur bila diperlukan.
Rasional : untuk menurunkan nyeri dengan mempertahankan berat badan jauh dari linen tempat tidur terhadap luka dan menurunkan pemajanan ujung saraf pada aliran udara
4) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik.
Rasional : untuk memblok jaras nyeri dengan nyeri berat.
7. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan atau disfagia.
Kriteria Hasil.
Pasien akan
Menunjukkan pemasukan nutrisi adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik dibuktikan oleh berat badan stabil atau masa otot terukur, keseimbangan nitrogen positif dan regenerasi jaringan.
Intervensi dan Rasional.
1) Auskultasi bising usus, perhatikan hipoaktif/tak ada bunyi.
Rasional : Ileus sering berhubungan dengan periode paska – luka bakar tetapi biasanya dalam 36 – 48 jam dimana makanan oral dapat dimulai.
2) Pertahankan jumlah kalori ketat. Timbang tiap hari, kaji ulang persen area permukan tubuh terbuka/luka tiap minggu.
Rasional : Pedoman tepat untuk pemasukan kalori tepat. Sesuai penyembuhan luka, persentase area luka bakar di evaluasi untuk menghitung bentuk diet yang diberikan dan penilaian yang tepat dibuat.
3) Berikan makan dan makanan kecil sedikit dan sering.
Rasional : Membantu mencegah distensi baster/ketidaknyamanan dan meningkatkan pemasukan.
4) Dorong pasien untuk memandang diet sebagai pengobatan dan untuk membuat pilihan makanan /minuman tinggi kalori protein.
Rasional : Kalori dan protein diperlukan untuk mempertahankan berat badan, kebutuhan metabolik dan meningkatkan penyembuhan.
5) Pastikan makanan yang disukai/takdisukai. Dorong orang terdekat untuk membawa makanan dari rumah yang tepat.
Rasional : Memberikan pasien atau orang terdekat rasa kontrol, meningkatkan partisipasi dalam perawatan dan dapat memperbaiki pemasukan.
6) Beriakan kebersihan oral sebalum makan.
Rasional : Mulut atau palatum bersih meningkatkan rasa dan membantu nafsu makan yang baik.
7) Rujuk keahli diet/tim dukungan nutrisi.
Rasional : Berguna dalam membantu kebutuhan nutrisi individu dan mengidentifikasi rute yang tepat.
8) Berikan diet tinggi kalori/protein dengan tambahan vitamin.
Rasional : Kalori ( 3000 – 5000/hari ) protein dan vitamin yang dibutuhkan untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik, mempertahankan berat badan dan mendorong regenerasi jaringan.
2.4 Evaluasi
1. Homeostasis tercapai.
2. Nyeri terkontrol/menurun.
3. Komplikasi dicegah/diminimalkan.
4. Menerima situasi secara realitas.
5. Kondisi atau prognosis dan program terapi.














DAFTAR PUSTAKA

Marilyn E. Doengoes. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. penerbit buku kedokteran EGC : Jakarta
Smeltzer, Suzzane, and Brenda G. Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah/ Brunner & Suddarth. Vol. 2. Jakarta: EGC.
Instalasi Rawat Inap Bedah RSUD Dr. Soetomo Surabaya (2001), Pendidikan Keperawatan Berkelanjutan (PKB V) Tema: Asuhan Keperawatan Luka Bakar Secara Paripurna, Instalasi Rawat Inap Bedah RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.
http://muanizbgtz.blogspot.com/2013/01/askep-luka-bakar-combustio.html

ASKEP Gerontik

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 LATAR BELAKANG
Keperawatan adalah ilmu yang mempelajari penyimpangan atau tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang dapat mempengaruhi perubahan, penyimpangan atau tidak berfungsinya secara optimal setiap unit yang terdapat dalam sistem hayati tubuh manusia, baik secara individu, keluarga, ataupun masyarakat dan ekosistem. Komunitas adalah sekelompok manusia yang saling berhubungan lebih sering dibandingkan dengan manusia lain yang berada diluarnya serta saling ketergantungan untuk memenuhi keperluan barang dan jasa yang penting untuk menunjang kehidupan sehari-hari.
Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat kompleks, yang saling berkaitan dengan masalah – masalah lain diluar kesehatan sendiri. Demikian pula pemecahan masalah kesehatan masalah, tidak hanya dilihat dari segi kesehatannya sendiri, tapi harus dilihat dari segi – segi yang ada pengaruhnya terhadap masalah “ sehat sakit “ atau kesehatan tersebut.
Komunitas adalah kelompok sosial yang tinggal dalam suatu tempat, saling berinteraksi satu sama lain, saling mengenal serta mempunyai minat dan interest yang sama (WHO). Komunitas adalah kelompok dari masyarakat yang tinggal di suatu lokasi yang sama dengan dibawah pemerintahan yang sama, area atau lokasi yang sama dimana mereka tinggal, kelompok sosial yang mempunyai interest yang sama (Riyadi, 2007).
Menurut WHO (1959), keperawatan komunitas adalah bidang perawatan khusus yang merupakan gabungan keterampilan ilmu keperawatan, ilmu kesehatan masyarakat dan bantuan sosial, sebagai bagian dari program kesehatan masyarakat secara keseluruhan guna meningkatkan kesehatan, penyempumaan kondisi sosial, perbaikan lingkungan fisik, rehabilitasi, pencegahan penyakit dan bahaya yang lebih besar, ditujukan kepada individu, keluarga, yang mempunyai masalah dimana hal itu mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan. Keperawatan kesehatan komunitas menurut ANA (1973) adalah suatu sintesa dari praktik kesehatan masyarakat yang dilakukan untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan masyarakat.
Praktik keperawatan kesehatan komunitas ini bersifat menyeluruh dengan tidak membatasi pelayanan yang diberikan kepada kelompok umur tertentu, berkelanjutan dan melibatkan masyarakat. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perawatan kesehatan komunitas adalah suatu bidang dalam ilmu keperawatan yang merupakan keterpaduan antara keperawatan dan kesehatan masyarakat dengan dukungan peran serta masyarakat, serta mengutamakan pelayanan promotif dan preventif secara berkesinambungan dengan tanpa mengabaikan pelayanan kuratif dan rehabilitatif, secara menyeluruh dan terpadu ditujukan kesatuan yang utuh melalui proses keperawatan untuk ikut meningkatkan fungsi kehidupan manusia secara optimal.
Sasaran keperawatan komunitas adalah seluruh masyarakat termasuk individu, keluarga, dan kelompok yang beresiko tinggi seperti keluarga penduduk di daerah kumuh, daerah terisolasi dan daerah yang tidak terjangkau termasuk kelompok siswa di sekolah.Dalam meningkatkan derajat kesehatan komunitas pelajar intervensi dibuat untuk seluruh pelajar dan lingkungan sekolah sehingga diharapkan suatu hasil yang berarti untuk civitas akademika sendiri.
Professional kesehatan lebih banyak meluangkan waktu dengan lansia dalam perawatan kesehatan, karena itu mereka harus berfokus untuk mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan khususnya.Lansia memerlukan bantuan yang lebih besar dalam identifikasi, definisi, dan resolusi masalah yang mempengaruhi mereka.Insiden masalah kesehatan kronis yang lebih besar, kemajuan teknologi dan masalah ekonomi, social, dan kesehatan kontemporer masa kini mendorong professional perawatan kesehatan berfokus pada peningkatan harapan dan kualitas hidup.
Meningkatnya usia harapan hidup (UHH) memberikan dampak yang kompleks terhadap kesejahteraan lansia. Di satu sisi peningkatan UHH mengindikasikan peningkatan taraf kesehatan warga negara. Namun di sisi lain menimbulkan masalah masalah karena dengan meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut akan berakibat semakin besarnya beban yang ditanggung oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah, terutama dalam menyediakan pelayanan dan fasislitas lainnya bagi kesejahteraan lansia. Hal ini karena pada usia lanjut individu akan mengalami perubahan fisik, mental, sosial ekonomi dan spiritual yang mempengaruhi kemampuan fungsional dalam aktivitas kehidupan sehari-hari sehingga menjadikan lansia menjadi lebih rentan menderita gangguan kesehatan baik fisik maupun mental. Walaupun tidak semua perubahan struktur dan fisiologis, namun diperkirakan setengah dari populasi penduduk lansia mengalami keterbatasan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, dan 18% diantaranya sama sekali tidak mampu beraktivitas. Berkaitan dengan kategori fisik, diperkirakan 85% dari kelompok umur 65 tahun atau lebih mempunyai paling tidak satu masalah kesehatan.

1.2 RUMUSAN MASALAH
1) Apa pengertian dari lansia?
2) Perubahan apa saja yang terjadi pada lansia?
3) Permasalahan apa yang timbul pada lansia?
4) Bagaimana peran perawat terhadap lansia?
1.3 TUJUAN
a. Tujuan umum
2) Agar mahasiswa /mahasiswi keperawatan Universitas Jenderal Soedirman memperoleh informasi dan gambaran tentang Asuhan Keperawatan Komunitas Pada Kelompok Khusus Lansia.
a. Tujuan khusus
3) Mampu menjelaskan konsep teori tentang kelompok khusus lansia.
4) Mampu melaksanakan pengkajian pada kelompok khusus lansia dengan masalah yang ada.
5) Mampu menentukan diagnosa keperawatan pada komunitas kelompok khusus lansia.
6) Mampu membuat rencana tindakan asuhan keperawatan komunitas pada kelompok khusus lansia.
7) Mampu menerapkan rencana keperawatan pada asuhan keperawatan komunitas pada kelompok khusus lansia.
8) Mampu meyimpulkan hasil pelaksanaan asuhan keperawatan komunitas pada kelompok khusus lansia yang bermasalah.

1.3 Manfaat
Penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Lansia dan Masyarakat Umum
Memberikan gambaran kesehatan guna meningkatkan status kesehatan lansia di komunitas.
2. Mahasiswa / Penyusun
Menambah pengetahuan dan mampu membuat serta memberikan asuhan keperawatan lansia sehingga nantinya diharapkan mampu mengembangkan asuhan keperawatan terhadap lansia dimasa mendatang.


















BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Masa dewasa tua (lansia) dimulai setelah pensiun, biasanya antara usia 65 dan 75 tahun. Jumlah kelompok usia ini meningkat drastic dan ahli demografi memperhitungkan peningkatan populasi lansia sehat terus menigkat sampai abad selanjutnya (Potter & Perry, 2005).
Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Dalam mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial. Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga dan masyarakat (Ismayadi, 2004).
Menurut Constantinidies menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan – lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri / mengganti diri dan mempertahankan fungsi formalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Menurut organisasi dunia (WHO) lanjut usia meliputi usia pertengahan (middleage) adalah kelompok usia 45-59 tahun, Usia lanjut (elderly) adalah kelompok usia 60-74 tahun, Usia lanjut (old) adalah kelompok usia 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old) adalah kelompok usia diatas 90 tahun.
Asuhan keperawatan lansia mengahadapi tantangan khusus karena perbedaan fisiologis, kognitif, dan kesehatan psikososial. Lansia bervariasi pada tingkat kemampuan fungsional. Mayoritas merupakan anggota komunitas yang aktif, terlibat, dan produktif.Hanya sedikit yang telah kehilangan kemampuan untuk merawat diri sendiri, bingung atau merusak diri, dan tidak mampu mebuat keputusan yang berkaitan dengan kebutuhan mereka.

2.2 Kebutuhan Hidup Orang Lanjut Usia
Setiap orang memiliki kebutuhan hidup. Orang lanjut usia juga memiliki kebutuhan hidup yang sama agar dapat hidup sejahtera. Kebutuhan hidup orang lanjut usia antara lain kebutuhan akan makanan bergizi seimbang, pemeriksaan kesehatan secara rutin, perumahan yang sehat dan kondisi rumah yang tentram dan aman, kebutuhan-kebutuhan sosial seperti bersosialisasi dengan semua orang dalam segala usia, sehingga mereka mempunyai banyak teman yang dapat diajak berkomunikasi, membagi pengalaman, memberikan pengarahan untuk kehidupan yang baik. Kebutuhan tersebut diperlukan oleh lanjut usia agar dapat mandiri. Kebutuhan tersebut sejalan dengan pendapat Maslow menyatakan bahwa kebutuhan manusia meliputi (1) Kebutuhan fisik (physiological needs) adalah kebutuhan fisik atau biologis seperti pangan, sandang, papan, seks dan sebagainya. (2) Kebutuhan ketentraman (safety needs) adalah kebutuhan akan rasa keamanan dan ketentraman, baik lahiriah maupun batiniah seperti kebutuhan akan jaminan hari tua, kebebasan, kemandirian dan sebagainya (3) Kebutuhan sosial (social needs) adalah kebutuhan untuk bermasyarakat atau berkomunikasi dengan manusia lain melalui paguyuban, organisasi profesi, kesenian, olah raga, kesamaan hobby dan sebagainya (4) Kebutuhan harga diri (esteem needs) adalah kebutuhan akan harga diri untuk diakui akan keberadaannya, dan (5) Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs) adalah kebutuhan untuk mengungkapkan kemampuan fisik, rohani maupun daya pikir berdasar pengalamannya masing-masing, bersemangat untuk hidup, dan berperan dalam kehidupan. Sejak awal kehidupan sampai berusia lanjut setiap orang memiliki kebutuhan psikologis dasar (Setiati,2000). Kebutuhan tersebut diantaranya orang lanjut usia membutuhkan rasa nyaman bagi dirinya sendiri, serta rasa nyaman terhadap lingkungan yang ada. Tingkat pemenuhan kebutuhan tersebut tergantung pada diri orang lanjut usia, keluarga dan lingkungannya . Jika kebutuhankebutuhan tersebut tidak terpenuhi akan timbul masalah-masalah dalam kehidupan orang lanjut usia yang akan menurunkan kemandiriannya (Ismayadi, 2004).

2.3 Teori – teori ProsesMenua

Sebenarnya secara individual
1. Tahap proses menua terjadi pada orang dengan usia berbeda
2. Masing – masing lanjut usia mempunyai kebiasaan yang berbeda
3. Tidak ada satu faktorpun ditemukan untuk mencegah proses menua

Ada beberapa teori tentang proses penuaan, antara lain:
1. Teori Genetic Clock
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies tertentu . Setiap spesies mempunyai di dalam nukleinya suatu jam genetik yang telah di putar menurut suatu replikasi tertentu. Jam ini akan menghitung mitosis dan menghentikan replikasi sel bila tidak berputar.. Jadi menurut konsep ini jika jam ini berhenti, kita akan mati meskipun tanpa disertai kecelakaan lingkungan atau penyakit terminal. Konsep “ genetic clock” didukung oleh kenyatan bahwa ini cara menerangkan mengapa pada beberapa spesies terlihat adanya perbedaan harapan hidup yang nyata.
2. Teori Mutasi Genetik (somatic mutatie theori )
Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul – molekul DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi.
3. Teori “ pemakaian dan rusak “
Kelebihan usaha dan stres menyebabkan se –sel tubuh lelah terbakar.
4. Pengumpulan dari pigmen atau lemak dalam tubuh yang disebut “ teori akumulasi dari produk sisa”.
5. Peningkatan jumlah kolagen dalam jaringan.
6. Tidak ada perlindungan terhadap radiasi, penyakit dan kekurangan gizi.
7. Reaksi dari kekebaian sendiri ( auto immunne theori)
Didalam metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat tersebut sehingga tubuh menjadi lemah dan sakit.
8. “ Teori imonologi saw virus”
Sistem imun menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya virus ke dalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh.
9. Teori stres menua akibat terjadi hilangnya sel – sel yang bisa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kesetabilan lingkungan internal, kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel –sel tubuh lelah terpakai.
10. Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat dibentuk dialam bebas, tidak stabil radikal bebas ( kelompok atom ) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan – bahan organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel –sel tidak dapat regenerasi.
11. Teori rantai silang
Sel – sel yang tua dan usang, reaksi kimianya menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen.Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastis, kekacauan dan hilangnya fungsi.
12. Theori program
Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah yang membelah setelah sel- sel mati.

2.4 Perubahan – perubahan yang terjadi pada Lanjut Usia
Perubahan – perubahan fisik
1. Sel
1) Lebih sedikit jumlahnya
2) Berkurangnya jumlah cairan tubuh dan kurangnya cairan intramuskuler
3) Menurunnya porposi protein di otak, otot,ginjal, darah dan hati
4) Terganggunya mekanisme perbaikan sel
5). Otak menjadi atropis beratnya berkurang 5-10%
2. Sistem pernafasan
1) Cepat menurunnya persarafan
2) Lambannya dalam respon dan waktu untuk bereaksi khususnya dengan stres.
3) Mengecilnya saraf panca indra: berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran, mengecilnya saraf penciuman dan rasa,. Lebih sensitif terhadap perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin.
4) Kurangnya sensitif pada sentuhan
3. Sistem Pendengaran
1) Prebiakusis ( gangguan dalam pendengaran ), hilangnya kemampuan atau daya pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi dan atau nada – nada tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata, 50% terjadi pada usia diatas 65 tahun.
2) Membran timpani menjadi atropi menyebabkan otosklerosis
3) Terjadinya pengumpulan serumen dapat mengeras karena meningkanya kreatin
4) Pendengaran bertambah menurun pada lanjut usia yang mengalami ketegangan jiwa atau stres
4. Sistem penglihatan
1) Spingter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar
2) Kornea lebih berbentuk sferis atau bola, lensa lebih suram atau kekeruhan pada lensa menjadi katarak, jelas menyebabkan gangguan penglihatan
3) Meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan menjadi lebih lambat, dan susah melihat dalam cahaya gelap
4) Hilangnya daya akomodasi, menurunya lapang pandang, menurunnya membedakan warna biru atau hijau.
5. Sistem kardiovaskuler
1) Elastisitas dinding vaskuler menurun,katup jantung menebal dan menjadi kaku.
2) Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, menyebabkan kontraksi dan volumenya.
3) Kehilangan elestisitas pembuluh darah, kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, perubahan posisi dari tidur ke duduk, atau dari duduk ke berdiri bisa menyebabkan tekanan darah menurun menjadi 65 mmHg ( mengakibatkan pusing mendadak).
4) Tekanan darah meningkat diakibatkan meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer, sistolik normal kurang lebih 170 mmHg, diastolik normal kurang lebih 90 mmHg
6. Sistem pengaturan temperatur tubuh
Pada pengaturan tuhu, hipotalamus dianggap bekerja sebagai termostat, yaitu menetapkan suhu teratur, kemunduran terjadi akibat berbagai faktor yang mempengaruhinya yang sering ditemui antara lain:
1) Temperatur tubuh menurun atau hipotermi secara fisiologis kurang lebih 35 derajat celcius ini akibat metabolisme menurun.
2) Keterbatasan reflek menggigil dan tidak dapat memproduksi panas banyak sehingga terjadi rendahnya aktifitas otot.
7. Sistem Respirasi
1) Otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunnya aktifitas silia
2) Paru – paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat, menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun dan kedalaman bernafas menurun.
3) Alveoli ukurannya melebar dari biasa dan jumlahnya berkurang
4) Oksigen pada arteri menurun menjadi 75 mmHg, karbodioksida pada arteri tidak berganti
5) Kemampuan untuk batuk berkurang
6) Kemampuan pegas, dinding dada dan kekuatan otot pernafasan akan menurun seiring dengan pertambahan usia.
8. Sistem gastrointestinal
1) Kehilangan gigi penyebab utama adanya periondontal disease
2) Indra pengecap menurun dan esofagus melebar
3) Lambung : rasa lapar menurun asam lambung menurun, waktu mengosongkan menurun
4) Peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi
5) Liver : makin mengecil dan menurunnya tempat penyimpanan, berkurangnya aliran darah
6) Menciutnya ovari dan uterus
7) Atropi payudara
8) Pada laki – laki testis masih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun adanya penurunan secara berangsur – angsur.
9) Dorongan seksual menetap sampai usia diatas 70 tahun
10) Selaut lendir menurun
9. Sistem Genitourinaria
Ginjal: mengecil dan nefron menjadi atropi, aliran darah ke ginjal menurun sampai 50% fungsi tubulus berkurang.
1) Vesika urinaria : otot – otot menjadi lemah, kapasitas menurun sampai 200ml, atau dapat menyebabkan buang air kecil meningkat, vasikaurinaria susah dikosongkan sehingga mengakibatkan meningkatnya retensi urin.
2) Pembesaran prostat kurang lebih 75 % dialami oleh pria diatas 65 % tahun
3) Atrofi vulva
10. Sistem Endokrin
1) Produksi dari hampir semua hormon menurun.
2) Fungsi paratiroid dan sekresinya tidak berubah.
3) Pitutari: pertumbuhan hormon ada terapi lebih rendah dan hanya didalam pembuluh darah,berkurangnya produksi dari ACT,TSH,FSH dan LH.
4) Menurunnya aktifitas tiroid menurunnya BMR dan daya pertukaran zat
5) Menurunnya produksi aldosteron
6) Menurunnya sekresi hormon kelamin, misalnya progesteron, estrogen dan testosteron
11. Sistem kulit
1) Kulit keriput atau mengkerut
2) Permukaan kulit kasar dan bersisik
3) Menurunnya respon terhadap trauma, mekanisme proteksi kulit menurun.
4) Kulit kepala dan rambut menipis berwarna kelabu.
5) Rambut dan hidung dan telinga menebal.
6) Berkurangnya elastisitas kulit akibat dari menurunnya cairan dan vaskularitas
7) Pertumbuhan kuku lebih lambat, kuku jari menjadi keras dan rapuh, kuku kaki tumbuh secara berlebihan, kuku menjadi pudar dan kurang bercahaya.
8) Kelenjar keringat berkurang jumlah dan fungsinya.
12. Sistem muskoloskeletal
1) Tulang kehilangan density ( cairan ) dan makin rapuh
2) Kiposis, pinggang lutut dan jari –jari pergelangan terbatas geraknya.
3) Discus intervertebralis menipis dan menjadi pendek.
4) Persendian membesar dan kaku
5) Tendon mengerut dan mengalami sklerosis
6) Atropi serabut otot, sehingga gerak menjadi lambat, otot kram dan tremor.

2.5 Tugas Perkembangan Lansia
Peck mengonseptualisasikan tiga tugas yang berisi pengaruh dari hasil konflik antara perbedaan integritas dan keputusasaan.
Perbedaan ego versus preokupasi peran kerja. Tugas ini membutuhkan pergeseran sistem nilai seseorang, yang memungkinkan lansia untuk mengevaluasi ulang mendefinisikan kembali pekerjaan mereka. Penilaian ulang ini mengrahkan lansia untuk mengganti peran yang sudah hilang dengan peran dan aktivitas baru. Selanjutnya, lansia mampu menemukan cara-cara baru memandang diri mereka sendiri sebagai orangtua dan okupasi.
Body transcendence versus preokupasi tubuh. Sebagian besar lansia mengalami beberapa penurunan fisik. Untuk beberapa orang, kesenangan dan kenyamanan berarti kesejahteraan fisik. Orang-orang tersebut mungkin mengalami kesulitan terbesar dalam mengabaiakan status fisik mereka. Orang lain memiliki kemampuan untuk terlibat dalam kesenangan psikologi dan aktivitas sosial sekalipun mereka mengalami perubahan dan ketidaknyamanan fisik. Peck mengemukakan bahwa dalam sistem nilai mereka, ”sumber-sumber kesenangan sosial dan mental dan rasa menghormati diri sendiri mengabaikan kenyamanan fisik semata.”
Transendensi ego versus preokupasi ego. Peck mengemukakan bahwa cara paling konstruktif untuk hidup di tahun-tahun terakhir dapat didefinisikan dengan : ”hidup secara dermawan dan tidak egois yang merupakan prospek dari kematian personal-the night of the ego, yang bisa disebut-paras dan perasaan kurang penting dibanding pengetahuan yang telah diperoleh seseorang untuk masa depan yang lebih luas dan lebih panjang daripada yang dapat dicakup oleh ego seseorang.” manusia menyelesaikan hal ini melalui warisan mereka, anak-anak mereka, kontribusi mereka pada masyarakat, dan persahabatan mereka. Mereka ”ingin membuat hidup lebih aman, lebih bermakna, atau lebih bahagia bagi orang-orang yang meneruskan hidup setelah kematian.” Untuk mengklarifikasi, ”individu yang panjang umur cenderung lebih khawatir tentang apa yang mereka lakukan daripada tentang siapa mereka sebenarnya, mereka hidup di luar diri mereka sendiri daripada kepribadian mereka sendiri secara egosentris.
(Stanley & Beare, 2006).

2.6 Permasalahan yang timbul Pada Lansia
Berikut ini kita bicarakan masalah kesehatan lansia.
1. Permasalah Umum
Bersarnya jumlah penduduk lansia dan tingginya prosentase kenaikan lansia memerlukan upaya peningkatan kualitas pelayanan dan pembinaan kesehatan bagi lanjut usia. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2000 akan meningkat menjadi 209.535.49. jiwa dan jumlah lansianya 15.262.199., berarti 7.28% (Anwar,1994 ). Menurut Kinsilla dan Taeuber ( 1993) peningkatan penduduk lansia dalam waktu 1990-2000 sebesar 41% dan merupakan yang tertinggi didunia ( Darmojo, 1999:1).
1) Jumlah lansia miskin makin banyak
2) Nilai perkerabatan melemah, tatanan masyarakat makin individualistik
3) Rendahnya kualitas dan kuantitas tenaga profesional yang melayani lansia
4) Terbatasnya sarana dan fasilitas pelayanan bagi lansia
5) Adanya dampak pembangunan yang merugikan seperti urbanisasi dan popuilasi pada kehidupan dan penghidupan lansia.
2. Permasalahan Khusus
1. Terjadinya perubahan normal pada fisik lansia
Perubahan normal ( alami ) tidak dihindari cepat dan lambatnya perubahan dipengaruhi oleh faktor kejiwaan, sosial, ekonomi dan medik. Perubahan akan terlihat pada jaringan organ tubuh seperti: kulit menjadi kering dan keriput, rambut beruban dan rontok, penglihatan menurun sebagian dan menyeluruh, pendengaran juga berkurang, daya penciuman berkurang,tinggi badan menyusut karena proses ostoporosis yang berakibat badan bungkuk, tulang keropos masanya berkurang, kekuatan berkurang dan mudah patah, elastisitas jaringan paru berkurang, nafas menjadi pendek, terjadi pengurangan fungsi organ di dalam perut, dinding pembuluh darah menebal dan terjadi peningkatan tekanan darah, otot bekerja tidak efisien, terjadi penurunan fungsi organ reproduksi terutama ditemukan pada wanita, otak menyusut dan reaksi menjadi lambat terutama pada pria dan sexsualitas tidak selalu menurun
2. Terjadi perubahan abnormal pada fisik lansia
Perubahan fisik pada lansia dapat diperbaiki dan dapat dihilangkan melalui nasehat atau tindakan medik. Perubahan yang terjadi misalnya: katarak, kelainan sendi, kelainan prostat dan inkotenensia
2.7 Sikap perawat terhadap lansia
Perawatan gerontologi atau gerontik adalah ilmu yang mempelajari dan memberikan pelayanan kepada orang lanjut usia yang dapat terjadi di berbagai tatanan dan membantu orang lanjut usia tersebut untuk mencapai dan mempertahankan fungsi yang optimal. Perawat gerontologi mengaplikasikan dan ahli dalam memberikan pelayanan kesehatan utama pada lanjut usia dank keluarganya dalam berbagai tatanan pelayanan. Peran lanjut perawat tersebut independen dan kolaburasi dengan tenaga kesehatan profesional.
Lingkup praktek keperawatan gerontologi adalah memberikan asuhan keperawatan, malaksanakan advokasi dan bekerja untuk memaksimalkan kemampuan atau kemandirian lanjuy usia, meningkatkan dan mempertahankan kesehatan, mencegah dan meminimalkan kecacatan dan menunjang proses kematian yang bermartabat. Perawat gerontologi dalam prakteknya menggunakan managemen kasus, pendidikan, konsultasi , penelitian dan administrasi.
Penting bagi perawat untuk mengkaji sikapnya pada penuaan karena sikap tersebut mempengaruhi asuhan keperawatan. Untuk memberi asuhan yang efektif, perawat harus menciptakan sikap positif terhadap lansia. Sikap negatif dapat mengakibatkan penurunan rasa nyaman, adekuat, dan kesejahteraan klien. Lebih jauh lagi, sikap tersebut dapat menyebabkan penurunan kualitas asuhan. Klien dalam fasilitas perawatan jangka panjang memberi tantangan khusus bagi perawat. Klien ini sering kali memandang diri sendiri sebagai pecundang, dan mungkin masyarakat juga memandang mereka seperti itu. Perawat dapat meningkatkan kemandirian dan harga diri klien yang merasa bahwa hidup tidak lagi berharga.
Perawat harus menjelaskan sikap pribadi dan nilai tentang lansia untuk memberikan perawatan paling efektif. Usia, pendidikan, pengalaman kerja, dan lembaga pekerjaan seorang perawat mempengaruhi stereotip. Pengalaman pribadi dengan lansia sebagai anggota keluarga dapat juga mempengaruhi sikap. Karena lansia menjadi lebih lazim dalam pelayanan kesehatan, maka penting sekali bagi perawat untuk mengembangkan pendekatan asuhan yang positif bagi klien lansia.
1. Pendekatan perawatan lanjut usia
1) Pendekatan fisik
Perawatan fisik secara umum bagi klien lanjut usia ada 2 bagian yaitu :
a.Klien lanjut usia yang masih aktif, yang masih mampu bergerak tanpa bantuan orang lain.
b.Klien lanjut usia yang pasif atau tidak dapat bangun yang mengalami kelumpuhan atau sakit.
2) Pendekatan psikis
Perawatan mempunyai peranan yang panjang untuk mengadakan pendekatan edukatif pada klien lanjut usia, perawat dapat berperan sebagai supporter, interpreter terhadap segala sesuatu yang asing, sebagai penampung rahasia pribadi dan sebagai sahabat yang akrab.

3. Pendekatan sosial
Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita merupakan upaya perawatan dalam pendekatan sosial. Memberi kesempatan berkumpul bersama dengan sesama klien lanjut usia untuk menciptakan sosialisasi mereka.


BAB III
PROSES KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
Pengkajian multidimensional meliputi kesehatan mental dan fisik, fungsi tubuh, dan situasi social. Pengkajian yang difokuskan pada pengkajian unutk etiologi fisiologis, psikologis, dan lingkungan dari kondisi gangguan mental pada lanjut usia yag dirawat (Kushariyadi, 2010).
Menurut Anderson E dan McFarlene, dalam model asuhan keperawatan pengkajian secara umum meliputi inti komunitas yaitu penduduk serta delapan subsistem yang mempengaruhinya. Inti komunitas, perlu dikaji tentang pendidikan, pekerjaan, agama, keyakinan/nilai yang dianut serta data-data tentang subsistem sebagai berikut :.

1. Data inti
1) Demografi, Karekteristik Umur Dan Sex, Vital Statistik
Data demograf kelompok atau komunitas yang terdiri : jumlah penduduk lansia dalam wilayah, umur, pendidikan, jenis kelamin, vital stastistik, pekerjaan, agama, nilai – nilai, keyakinan serta riwayat timbulnya kelompok atau komunitas yang dapat dicontohkan sebagai berikut :
Jumlah penduduk : 987 jiwa
Laki – laki : 523 jiwa
Perempuan : 464 jiwa
Pendidikan penduduk : Para penduduk mayoritas berpendidikan hingga lulus SLTA dan beberapa diantaranya perguruan tinggi.
Suku Bangsa : Suku Jawa
Status perkawinan : Menikah dan kebanyakan penduduk di komunitas tersebut adalah janda (lansia) karena kebanyakan pasangannya meninggal.
Nilai dan kepercayaan : Nilai dan norma para masyarakat masih mengenal nilai kesopanan, gotong royong dan kerukunan antar warganya. Hal ini dapat dilihat dari adanya kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang masih terus berjalan. Seperti: kerja bakti, arisan, dan takziyah.
Agama : Mayoritas beragama Islam dan beberapa diantaranya beragama nasrani

2. Data subsistem
a. Lingkungan fisik
1) Kualitas udara
Keadaan udara di daerah tempat tinggal lansia beriklim sejuk atau panas, apakah terdapat polusi udara yang dapat mengganggu pernafasan warga atau tidak.
2) Kualitas air
Sumber air yang digunakan warga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, keadaan saluran air disekitar rumah.
3) Tingkat kebisingannya
Adanya sumber suara / bising yang dapat mengganggu keadaan lansia, contohnya seperti pabrik.
4) Jarak antar rumah/ kepadatan
Jarak antar rumah satu dengan yang lainnya, apakah saling berdempetan.
b. Pendidikan
Riwayat pendidikan, pendidikan terakhir dan juga apakah ada sarana pendidikan yang dapat digunakan untuk meningkatkan pengetahuan warga.
c. Keamanan dan transportasi
Keadaan penjagaan lingkungan sekitar seperti adanya siskamling, satpam atau polisi. Apakah dari keamaan tersebut menimbulkan stress atau tidak. Sarana transportasi yang digunakan warga untuk mobilisasi sehari menggunakan kendaraan umum atau kendaraan pribadi.

d. Politik dan pemerintahan
Kebijakan yang ada didaerah tersebut apakah cukup menunjang sehingga memudahkan komunitas mendapat pelayanan di berbagai bidang termasuk kesehatan.
e. Pelayanan social dan kesehatan
Tersedianya tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan) untuk melakukan deteksi dini gangguan atau merawat atau memantau apabila gangguan sudah terjadi serta karakteristik pemakaian fasilitas pelayanan kesehatan.
f. Komunikasi
Sarana komunikasi apa saja yang dapat dimanfaatkan di komunitas tersebut untuk saling berkomunikasi antar warga atau untuk mendapatkan informasi dari luar misalnya televisi, radio, koran, atau leaflet yang diberikan kepada komunitas.
g. Ekonomi
Tingkat sosial ekonomi komunitas secara keseluruhan, masih bekerja atau tidak, bagaimana dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.
h. Rekreasi
Apakah tersedia sarananya, kapan saja dibuka, dan apakah biayanya terjangkau oleh komunitas.Rekreasi ini hendaknya dapat digunakan komunitas untuk mengurangi stress.

2.2 Analisis data
1. Diagnosa keperawatan
Untuk menentukan masalah kesehatan pada masyarakat dapatlah dirumuskan diagnosa keperawatan komunitas yang terdiri dari :
Masalah (Problem)
Yaitu kesenjangan atau penyimpangan dari keadaan normal yang terjadi.
Penyebab (Etiologi)
Yang meliputi perilaku individu, keluarga, kelompok dan masyarakat, lingkungan fisik dan biologis, psikologis dan sosial serta interaksi perilaku dengan lingkungan.
Tanda dan Gejala (Sign and Sympton)
Yaitu informasi yang perlu untuk merumuskan diagnosa serta serangkaian petunjuk timbulnya masalah.
No. Data Problem Etiologi
1 Ds:
- Kader posyandu mengatakan 35% lansia menderita diabetes namun jarang memeriksakan kondisinya.
Do:
- Lansia menkonsumsi makanan dengan tidak terkontrol dan hanya berada di rumah setiap harinya Diabetes pada lansia Kebiasaan hidup lansia yang tidak terkontrol
2 DS: Bidan desa mengatakan lansia banyak yang menderita hipertensi dan lansia malas mengikuti posyandu lansia yang diselengarakan setiap bulannya. Hipertensi Ketidakpatuhan lansia dalam mengikuti posyandu lansia
3. Ds:
- Banyak warga yang mengeluh gatal-gatal pada tubuhnya.
Do:
- Tubuh terlihat bintik-bintik merah. Resiko kerusakan integritas kulit Perubahan status kesehatan

Diagnosa :
1. Diabetes berhubungan dengan kebiasaan hidup lansia yang tidak terkontrol.
2. Hipertensi berhubungan dengan ketidakpatuhan lansia dalam mengikuti posyandu lansia.
3. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan status kesehatan.

b. Kriteria Penapisan
Dx. Kep Kriteria penapisan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Dx. 1 4 4 4 4 4 3 3 4 3 3 3 3 42
Dx. 2 4 3 4 4 3 3 2 4 3 3 3 4 40
Dx.3 4 3 3 4 3 4 2 3 3 3 3 4 39

Keterangan :
1. Sesuai degan peran perawat komunitas.
2. Jumlah yang beresiko
3. Besarnya resiko
4. Kemungkinan untuk pendidikan kesehatan
5. Minat masyarakat
6. Kemungkinan untuk diatasi
7. Sesuai program pemerintah
8. Sumber daya tempat
9. Sumber daya waktu
10. Sumber daya dana
11. Sumber daya peralatan
12. Sumber daya manusia
Skor :
1 = sangat rendah
2 = rendah
3 = cukup
4 = tinggi
5 = sangat tinggi
Jumlah skor 121

c. Rencana Tindakan
Diagnosa Tujuan jangka pendek Tujuan jangka panjang
Diabetes berhubungan dengan kebiasaan hidup lansia yang tidak terkontrol ditandai dengan 35 % lansia menderita diabetes Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 4 minggu, komunitas diharapkan:
1. Lansia mampu mengontrol asupan makanan sehari harinya dan dapat melakukan sedikit aktivitas.
2. Lansia rutin setiap bulannya menghadiri kegiatan posyandu lansia yang diadakan. Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 8 minggu, komunitas diharapkan angka diabetes (kadar glukosa) pada lansia dapat menurun








DAFTAR PUSTAKA

Anderson, E.T. (2006). Buku Ajar Keperawatan Komunitas Teori dan Praktik. Jakarta : EGC.

Basford, Lynn. & Slevin, Oliver. (2006). Teori & Praktik Keperawatan Pendekatan Integral pada Asuhan Pasien. Jakarta : EGC

Ismayadi. (2004). Asuhan Keperawatan Dengan Reumatik (Artritis Treumatoid) Pada Lansia. Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Sumatera Utara

Kushariyadi. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Lanjut Usia dengan Demensia pada Home Care. Universita Muhammadiyah Malang

Kushariyadi. (2009). Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia. Jakarta : Salemba Medika

Nugroho, Wahyudi. (2000). Keperawatan Gerontik Edisi kedua. Jakarta: EGC

Potter, Patricia. A. & Anne Griffin Perry.(2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC

Riyadi. Sugeng (2007), Keperawatan Kesehatan Masyarakat, retieved may 12nd

Stanlet, Mickey. & Beare, Patricia Gauntlett. (2006). Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi kedua.Jakarta : EGC

penilaian GCS

GCS(Glasgow Coma Scale)yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.
Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata , bicara dan motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang angka 1 – 6 tergantung responnya.
Eye (respon membuka mata) :
(4) : spontan
(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari)
(1) : tidak ada respon
Verbal (respon verbal) :
(5) : orientasi baik
(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ) disorientasi tempat dan waktu.
(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam satu kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”)
(2) : suara tanpa arti (mengerang)
(1) : tidak ada respon
Motor (respon motorik) :
(6) : mengikuti perintah
(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri)
(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri)
(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
(1) : tidak ada respon
Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol E…V…M…
Selanutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4V5M6dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.
Jika dihubungkan dengan kasus trauma kapitis maka didapatkan hasil :
GCS : 14 – 15 = CKR (cidera kepala ringan)
GCS : 9 – 13 = CKS (cidera kepala sedang)
GCS : 3 – 8 = CKB (cidera kepala berat)

penilaian MMT

MEMAHAMI NILAI KEKUATAN OTOT
Kekuatan diukur dengan skala lima poin:

0/5.
Skor 0/5 berarti otot tidak dapat melakukan kontraksi yang bisa terlihat. Hal ini terjadi ketika otot yang lumpuh, seperti setelah stroke, cedera tulang belakang atau radikulopati serviks atau lumbar. Kadang kadang nyeri dapat menghalangi otot berkontraksi sama sekali.

1/5.
Skor 1/5 artinya terjadi kontraksi otot namun tidak ada gerakan. Otot tidak cukup kuat untuk mengangkat bagian tubuh tertentu .

2/5.
Skor 2/5 artinya otot Anda dapat berkontraksi tetapi tidak bisa menggerakkan bagian tubuh melawan gravitasi, namun ketika gravitasi dihilangkan dengan perubahan posisi tubuh, otot dapat menggerakkan bagian tubuh secara penuh.

3/5.
Skor 3/5 artinya otot dapat berkontraksikan dan menggerakkan bagian tubuh secara penuh melawan gaya gravitasi. Tapi ketika fisioterapis memberikan dorongan melawan gerakan tubuh Anda (memberikan resistensi), otot tidak mampu melawan.

4/5.
Skor 4/5 artinya otot mampu berkontraksi dan menggerakkan tubuh melawan tahanan minimal. Anda mampu melawan dorongan yang diberikan fisioterapis, namun tidak maksimal.

5/5
Skor 5/5 berarti otot berfungsi normal dan mampu melawan tahanan maksimal. Anda mampu mempertahankan kontraksi ketika dorongan. maksimal diterapkan fisioterapis pada tubuh Anda.

makalah cara penyebaran dan sifat penyakit infeksi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan berproliferasididalam tubuh yang menyebabkan sakit. Infeksi adalahinvasi tubuh oleh mikroorganisme dan berproliferasi dalam jaringan tubuh.Menurut kamus keperawatan disebutkan bahwa infeksiadalah invasi dan multiplikasi mikroorganisme dalam jaringan tubuh,khususnya yang menimbulkan cedera seluler setempat akibat metabolismekompetitif, toksin, replikasi intra seluler atau reaksi antigen - antibodi.













BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Cara penyebaran dan sifat penyakit infeksi

Penjamu



Segitiga epidemiologi
Penyakit dapat timbul dengan beberapa penyebab, salah satunya adalah mikroba pathogen seperti bakteri, virus, jamur dan lain-lain.Penyakit yang disebabkan oleh mikroba pathogen ini disebut penyakit infeksi.
Mikroba sebagai makhluk hidup harus berkembang biak, bergerak, dan berpindah tempat untuk bertahan hidup. Habitat mikroba ini untuk berkembang biak dan bertahan hidup disebut dengan reservoir.
Penyebaran penyekit infeksi
Penyekit infeksi adalah penyekit yang disebabkan oleh mikroba pathogen atau bersifat sangan dinamis. Proses penyebaran infeksi ini disebut dengan infeksi nosocomial.
Dalam garis besarnya, mekanisme transimis mikroba pathogen ke pejamu yang rentan (susceptible host) melalui dua cara :
1. Transmisi langsung (direct transmission)
Penularan langsung oleh mikroba pathogen ke pintu masuk yang sesuai dari pejumu.Sebagai contoh adalah adanya sentuhan, gigitan, ciuman atau adanya droplet nuclei saat bersin, batuk, berbicara, atau saat tranfusi darah dengan darah yang terkontaminasi mikroba pathogen.
2. Tranmisi tidak langsung (indirect transmission)
Penularan mikroba pathogen yang memerlukan adanya “media perantara”, baik berupa barang/bahan, air, udara, makanan/minuman, maupun vector.

a. Vehicle-borne
Sebagai media perantara penularan adalah barang/ bahan yang terkontaminasi seperti peralatan makan dan minum, instrument bedah/ kebidanan, peralatan laboratorium, peralatan infus/ transfusi.
b. Vector-borne
Sebagai media perantara penularan adalah vector (serangga), yang memindahkan mikroba pathogen ke pejamu dengan cara sebagai berikut.
1. Cara mekanis
Pada kaki serangga melekat kotoran/sputum (mikroba pathogen), lalu hinggap pada makanan/minuman, dimana selanjutnya akan masuk ke saluran cerna pejamu.
2. Cara biologis
Sebelum masuk ke tubuh pejamu, mikroba mengalami siklus perkembangbiakan dalam tubuh vector/serangga, selanjutnya mikroba dipindahkan ke tubuh pejamu melalui gigitan.
c. Food-borne
Makanan dan minuman adalah media perantara yang cukup efektif untuk menyebarnya mikroba pathogen ke pejamu, yaitu melalui pintu masuk (port d’entrée) saluran cerna.
d. Water-borne
Tersedianya air bersih baik secara kuantitatif maupun kualitatif – terutama untuk kebutuhan rumah sakit- adalah mutlak. Kualitas air yang meliputi aspek fisik, kimiawi, dan bakteriologis, diharapkanterbebas dari mikroba pathogen sehingga aman untuk dikonsumsi. Jika tidak sebagai media perantara- air sangat mudah meyebarkan mikroba pathogen ke pejamu, melalui pintu masuk (port d’entrée) saluran cerna maupun pintu masuk yang lain.
e. Air-borne
Udara sangat mutlak diperlukan oleh setiap orang, namun adanya udara yang terkontaminasi oleh mikroba pathogen sangat sulit untuk dideteksi.Mikroba pathogen dalam udara masuk ke saluran nafas pejamu dalam bentuk droplet nuclei yang dikeluarkan oleh penderita (reservoir) saat batuk atau bersin, bicara atau bernafas melalui mulut atau hidung. Sedangkan dust merupakan pertikel yang dapat terbang bersama debu lantai/ tanah. Penularan melalui udara ini umumnya mudah terjadi di dalam ruangan yang tertutup seperti di dalam gedung, ruangan/bangsal/kamar perawatan, atau pada leboratorium klinik.
Mekanisme transmisi mikroba pathogen atau penularan penyakit infeksi sangat jelas tergambar dalam uraian diatas, dari reservoir ke pejamu yang peka atau rentan. Dalam riwayat perjalanan penyakit, pejamu yang peka akan berinteraksi dengan mikroba pathogen, yang secara alamiah akan melewati 4 tahap.
1. Tahap rentan
Pada tahap ini pejuma masih dalam kondisi relative sehat, namun oeka atau labil, disertai factor predisposisi yang mempermudah terkena penyakit seperti umur, keadaan fisik, perilaku/ kebiasaan hidup, social-ekonomi dan lain-lain.Factor-faktor predisposisi tersebut mempercepat masuknya agen penyebab penyakit (mikroba pathogen) untuk berinteraksi dengan pejamu.
2. Tahap inkubasi
Setelah masuk ke tubuh pejamu, mikroba pathogen mulai beaksi, namun tanda dan gejala penyakit belum tampak (subklinis).Saat mulai masuknya mikroba pathogen ke tubuh pejamu hingga saat munculnya tanda dan gejala penyakit disebut masa inkubasi.
3. Tahap klinis
Merupakan tahap terganggunga fungsi organ yang dapat memunculkan tanda dan gejala penyakit. Dalam perkembangannya, penyakit akan berjalan secara bertahap, pada tahap awal, tanda dan gejala penyakit masih ringan. Penderita masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari dan masih dapat diatasi dengan berobat jalan.Pada tahap lanjut, penyakit tidak dapat diatasi dengan berobat jalan, karena penyakit bertambah parah, baik secara objektif maupun subjektif.Pada tahap ini penderita sudah tidak mampu lagi melakukan aktivitas sehari-hari dan jika berobat, umumnya harus memerlukan perawatan.
4. Tahap akhir penyakit
Perjalanan penyakit pada suatu saat akan berakhir pula. Perjalanan penyakit tersebut dapat berakhir dengan 5 alternatif.
a. Sembuh sempurna
Penderita sembuh secara sempurna, artinya bentuk fungsi sel/jaringan/organ tubuh kembali seperti sedia kala.
b. Sembuh dengan cacat
Penderita sembuh dari penyakitnya namun disertai adanya kecacatan. Cacat dapat berbentuk cacat fisik,cacat mental, maupun cacat social.
c. Pembawa (carrier)
Perjalanan penyakit seolah-olah berhenti, ditandai dengan menghilangnya tanda dan gejala penyakit. Pada kondisi ini agen penyebab penyakit masih ada, dan masih potensial sebagai sumber penularan
d. Kronis
Perjalanan penyakit bergerak lambat, dengan tanda dan gejala yang tetap atau tidak berubah (stagnan).
e. Meninggal dunia
Akhir perjalanan penyakit dengan adanya kegagalan fungsi-fungsi organ.

Secara skematis, penyebaran penyakit infeksi dapat digambarkan sebagai berikut





















2.2 Permukaan yang paling rentan terhadap agen infeksi
Bagian tubuh yang rentan infeksi karena kacaunya sistem kekebalan tubuh adalah mulut, gigi, paru-paru, kulit, kaki, kandung kemih, dan alat kelamin.



2.3 Aseptik/Asepsis
Aseptik berarti tidak adanya patogen pada suatu daerah tertentu.Teknik aseptik adalah usaha mempertahankan objek agar bebas dari mikroorganisme.
Asepsis ada 2 macam:
1. Asepsis medis
Tehnik bersih, termasuk prosedur yang digunakan untuk mencegah penyebaran mikroorganisme. Misalnya: mencuci tangan, mengganti linen tempat tidur, dan menggunakan cangkir untuk obat.
2. Asepsis bedah
Teknik steril, termasuk prosedur yang digunakan untuk membunuh mikroorganisme dari suatu daerah.
Prinsip-Prinsip Tindakan Asepsis Yang Umum
Semua benda yang menyentuh kulit yang luka atau dimasukkan ke dalam kulit untuk menyuntikkan sesuatu ke dalam tubuh, atau yang dimasukkan ke dalam rongga badan yang dianggap steril haruslah steril.
1. Jangan sekali-kali menjauhi atau membelakangi tempat yang steril.
2. Peganglah objek-objek yang steril, setinggi atas pinggang dengan demikian objek-objek itu selalu akan terlihat jelas dan ini mencegah terjadinya kontaminasi diluar pengawasan.
3. Hindari berbicara, batuk, bersin atau menjangkau suatu objek yang steril.
4. Jangan sampai menumpahkan larutan apapun pada kain atau kertas yang sudah steril.
5. Bukalah bungkusan yang steril sedemikian rupa, sehingga ujung pembungkusnya tidak mengarah pada si petugas.
6. Objek yang steril menjadi tercemar, jika bersentuhan dengan objek yang tidak steril.
7. Cairan mengalir menurut arah daya tarik bumi, jika forcep dipegang sehingga cairan desinfektan menyentuh bagian yang steril, maka forcep itu sudah tercemar.


2.4 Tanda-tanda infeksi
1. Rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi pelebaran arteriola yang mensuplai darah ke daerah peradangan. Sehingga lebih banyak darah mengalir ke mikrosirkulasi local dan kapiler meregang dengan cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut hyperemia atau kongesti, menyebabkan warna merah local karena peradangan akut.
2. Kalor
Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut.Kalor disebabkan pula oleh sirkulasi darah yang meningkat.Sebab darah yang memiliki suhu 37˚C disalurkan ke permukaan tubuh yang mengalami radang lebih banyak daripada ke daerah normal.
3. Dolor
Perubahan PH local atau konsentrasi ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf.Pengeluaran zat seperti histamine atau zat bioaktif lainnya dapat merangsang saraf.Rasa sakit disebabkan pula oleh tekanan yang meninggi akibat pembengkakan jaringan yang meradang.
4. Tumor
Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial.
5. Function laesa
Berdasarkan asal katanya, function laesa adalah fungsi yang hilang (Dorland,2002). Function laesa merupakan reaksi peradangan yang telah dikenal. Akan tetapi belum diketahui secara mendalam mekanisme terganggunya fungsi jaringan yang meradang.





2.5 Merawat luka terbuka tanpa menginfeksi
Luka terbuka yaitu luka yang melibatkan robekan pada kulit/ membran mukosa
Penyebab luka terbuka yaitu:
1. Trauma oleh benda tajam
2. Trauma oleh benda tumpul
Jika luka terbuka dibiarkan atau perawatannya tidak benar maka hal-hal yang dapat terjadi diantaranya adalah ;
1. Infeksi
Tanda-tanda luka mengalami infeksi yaitu jika terdapat nanah pada luka yang biasanya menimbulkan warna kuning, hijau/coklat tergantung pada jenis bakteri penyebab. Dan juga bias ditandai dengan demam, nyeri tekan dan nyeri pada daerah luka.
2. Eviserasi
Terpisahnya lapisan luka secara total dapat menimbulkan eviserasi yaitu keluarnya organ visceral melalui luka yang terbuka.
3. Hematoma
Yaitu pengumpulan darah local dibawah jaringan. Hemotoma trelihat seperti bengkak/massa yang sering terlihat kebiruan

Prinsip perawatan pada luka yaitu :
Bersihkan dari arah area yang sedikit terkontaminasi seperti dari luka ke kulit disekitarnya, Gunakan friksi lembut saat menuangkan larutan ke kulit
Saat melakukan irigasi, biarkan larutan mengalir dari area yang kurang terkontaminasi ke area yang paling terkontaminasi.Luka diyakini kurang terkontaminasi dari pada kulit disekitarnya.





Cara perawatan pada luka terbuka
1. Mempersiapkan alat
a. Larutkan steril yaitu NaCl 0.9 % yang dapat dibeli di apotik terdekat atau air yang telah direbus dalam suhu 100˚C 10 menit dan ditiriskan.
b. Sarung tangan steril yang dapat dibeli di apotik terdekat atau jika tidak ada maka cuci tangan yang bersih dengan sabun.
c. Set balutan steril (pinset anatomis 2 buah dan pinset cirurgis 1 buah, kom kecil 1 buah).
d. Kantong kresek untuk sampah.
e. Plester
f. Gunting
g. Jarum suntik 10cc 1 buah
2. Tindakan perawatan luka
a. Pertama cuci tangan yang bersih dengan menggunakan sabun
b. Atur posisi klien dengan nyaman
c. Dekatkan peralatan
d. Tuangkan larutan steril ke dalam kom kecil lalu ambil larutan dengan jarum suntik
e. Taruh baskom untuk menampung air dibawah area luka
f. Pasang sarung tangan steril
g. Ambil jarum suntik yang telah diisi larutan steril lalu semprotkan secara perlahan kearah luka, ulangi hingga cairan yang mengalir kedalam baskom jernih.
h. Jika tidak memakai jarum suntik maka masukkanlah kassa steril ke dalam larutan steril lalu peras kassa dengan menggunakan pinset hingga kassa menjadi lembab lala bersihkan luka dengan kassa tersebut dari arah luka ke daerah sekitar luka, dan jangan menekan luka terlalu keras karena akan menimbulkan pendarahan. Lakukan hal tersebut sampai luka menjadi bersih.
i. Keringkan tepi-tepi luka dengan kassa steril
j. Tutup dengan kassa steril
k. Lepas dan buang sarung tangan ke kantong kresek
l. Fiksasi balutan dengan plester yang telah dipotong-potong
m. Cuci tangan
n. Posisikan klien ke posisi semula
o. Alat bekas pakai/set balutan dicuci dengan sabun di air mengalir lalu direbus dalam suhu 100˚C selama 10 menit dan semula alat habis pakai masukan ke dalam kantung kresek sampah.

2.6 Jenis infeksi
1. Infeksi silang (infeksi eksogen)
Infeksi silang terjadi jika mikroorganisme yang menyebabkan infeksi didapatkan dari orang lain (pasien, tenaga kesehatan, orang yang merawat pasien) atau dari lingkungan (yaitu dari sumber eksogen).Contohnya, infeksi luka yang disebabkan oleh anggota staf perawatan yang membawa staphylococcus, atau yang memiliki lepuh atau lesi sepsis atau, yang lebih sering, staf perawatan yang tidak melakukan teknik mencuci tangan yang tepat.
2. Infeksi endogen atau infeksi sendiri
Infeksi endogen terjadi jika mikroorganisme yang melakukan kolonisasi pada satu area dalam tubuh pejamu masuk ke area lain di dalam tubuh pejamu dan menimbulkan infeksi, seperti mikroorganisme usus yang menyebabkan infeksi pada luka atau saluran kemih.
3. Infeksi nosocomial
Infeksi nosocomial atau infeksi yang didapat di rumah sakit terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit paling tidak selama 72 jam dan pasien tersebut tidak menunjukkan tanda serta gejala infeksi saat masuk rumah sakit. Infeksi nosocomial yang paling umum adalah infeksi saluran kemih.
4. Infeksi oportunistik
Infeksi oportunistik adalah infeksi serius akibat mikroorganisme yang normalnya tidak memiliki atau memiliki sedikit aktivitas pathogen (kemampuan menimbulkan penyakit), tetapi menyebabkan penyakit jika resistensi pejamu menurun akibat penyakit serius, pengobatan invasif, atau karena obat (mis, pneumonia pneumocystis cranii pada pasien HIV dan/atau AIDS).


makalah psikologi perkembangan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Perkembangan merupakan perubahan, dalam upaya mengungkap perubahan dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan ini para ahli psikologi mengungkapkan berbagai konsepsi yang menggambarkan mekanisme perubahan yang dialami manusia sepanjang masa perkembangannya. Masing-masing teori dan konsep yang dikemukakan mempunyai alasan dan cara pandang yang berbeda, sehingga tidak ada alasan bagi masyarakat untuk sepenuhnya mengikuti salah satu konsep secara murni, mengingat tidak ada konsep yang berlaku obyektif untuk semua kondisi perkembangan manusia.
Selain pendapat diatas beberapa ahli juga berpendapat bahwa Perkembangan pada manusia ialah perubahan yang bersifat kualitatif. Sifat perubahan ini tidak dapat diukur, tetapi jelas berlaku jika dibandingkan dengan peringkat yang lebih awal (Atan Long,1980). Paul Eggan dan Don Kauchak berpendapat perkembangan adalah perubahan yang berurutan dan kekal dalam diri seseorang hasil daripada pembelajaran, pengalaman dan kematangan. Slavin (1997) pula berpendapat perkembangan adalah berkaitan dengan mengapa dan bagaimana individu berkembang dan membesar, menyesuaikan diri kepada persekitaran dan berubah melalui peredaran masa. Beliau berpendapat, individu akan mengalami perkembangan sepanjang hayat, yaitu perkembangan dari segi fisikal, personaliti, sosioemosional dan kognitif serta bahasa. Sedangkan Menurut Crow dan Crow (1980), perkembangan merupakan perubahan secara ‘kualitatif’ serta cenderung ke arah yang lebih baik dari segi pemikiran, rohani, moral dan sosial.
Oleh karena itu, teori perkembangan harus kita pelajari sebagai upaya untuk mengetahui tahapan-tahapan hidup manusia terutama kita sebagai calon guru harus memahami perkembangan dari peserta didik agar kita dapat menentukan jenis pembelajaran yang tepat baginya.

1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud pendekatan perkembangan kognitif ?
2. Apa yang dimaksud pendekatan perkembangan belajar/lingkungan ?
3. Apa yang dimaksud pendekatan perkembangan etiologi ?
4. Apa yang dimaksud pendekatan perkembanganImam Al-Ghazali ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pendekatan perkembangan kognitif
2. Mengetahui pendekatan perkembangan belajar/lingkungan
3. Mengetahui pendekatan perkembangan etiologi
4. Mengetahui pendekatan perkembanganImam Al-Ghazali














BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Makna Perkembangan
Perkembangan merupakan pola perkembangan individu yang berawal pada konsepsi dan terus berlanjut sepanjang hayat dan bersifat involusi (Santrok Yussen 1992). Dengan demikian perkembangan berlangsung dari proses terbentuknya individu dari proses bertemunya sperma dengan sel telur dan berlangsung sampai akhir hayat yang bersifat timbulnya adanya perubahan dalam diri individu.
Perkembangan merupakan serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman dan terdiri atas serangkaian perubahan yang bersifat kualitatif dan kuantitatif (E.B. Harlock). Dimaksudkan bahwa perkembangan merupakan proses perubahan individu yang terjadi dari kematangan (kemampuan seseorang sesuai usia normal) dan pengalaman yang merupakan interaksi antara individu dengan lingkungan sekitar yang menyebabkan perubahan kualitatif dan kuantitatif (dapat diukur) yang menyebabkan perubahan pada diri individu tersebut.
Perkembangan mengandung makna adanya pemunculan sifat-sifat yang baru, yang berbeda dari sebelumnya (Kasiram, 1983 : 23), menandung arti bahwa perkembangan merupakan peubahan sifat indiviu menuju kesempurnaan yang merupakan penyempurnaan dari sifat-sifat sebelumnya.
2.2 Teori Perkembangan Kognitif
Pakar psikologi Swiss terkenal Jean Piaget (1896-1980) menekankan bahwa anak-anak membangun secara aktif dunia kognitif mereka sendiri; informasi tidak sekedar dituangkan ke dalam pikiran mereka dari lingkungan. Piaget yakin bahwa anak-anak menyesuaikan pemikiran mereka untuk mencakup gagasan-gagasan baru, karena informasi tambahan memajukan pemahaman.
Teori piaget didasarkan atas presuposisi biologis, dengan fokus minatnya pada bagaimana makhluk hidup menyesuaikan atau mengorganisasikan dirinya terhadap lingkungannya dan berkembang.
2.3 Beberapa Teori Perkembangan
2.3.1 . Pendekatan Perkembangan Kognitif
Pendekatan ini didasarkan kepada asumsi atau keyakinan bahwa kemampuan kognitif merupakan suatu yang fundamental dan yang membimbing tingkah laku anak. Kunci untuk memahami tingkah laku anak terletak pada pemahaman bagaimana pengetahuan tersebut terstruktur dalam berbagai aspeknya. Ada tiga model perkembangan kognitif ini, yaitu :
1) Model dari Piaget
2) Model Pemrosesan Informasi
3) Model Kognisi Sosial

2.3.2. Pendekatan Belajar atau Lingkungan
Teori-teori belajar atau lingkungan berakar dari asumsi bahwa tingkah laku anak di peroleh melalui pengkondisian (conditioning) dan prinsip-prinsip belajar. Di sini dibedakan antara tingkah laku yang dipelajari dengan temporer. Dalam hal ini B. F.Skinner membedakan :
1. Respondent Behavior, merupakan respons yang didasarkan kepada refleks yang di kontrol oleh stimulus. Seperti : mengisap dan menggenggam, anak-anak dan juga orang dewasa biasa menampilkan tingkah laku responden, yaitu dalam bentuk (1) Respons Fisiologis (seperti bersin); dan (2) Respons Emosional (seperti sedih dan marah).
2. Overan Behavior, yaitu tingkah laku suka rela yang di kontrol oleh dampak atau konsekuensinya.

Bandura meyakini bahwa belajar melalui observasi atau modeling itu melibatkan empat proses, yaitu sebagai berikut :
1) Attentional, yaitu proses dimana observer atau anak menaruh perhatian terhadap tingkah laku atau penampilan model (orang yang diimitasi).
2) Retention, yaitu proses yang merujuk kepada upaya anak untuk memasukkan informasi tentang model.
3) Production, yaitu proses mengontrol bagaimana anak dapat mereproduksi respons atau tingkah laku model.
4) Motivational, yaitu proses pemilihan tingkah laku model yang diimitasi oleh anak.

2.3.3 Pendekatan Etologi
Pendekatan ini merupakan studi perkembangan dari perspektif evolusioner yang di dasarkan pada prinsip-prinsip evolusi yang diajukan pertama kalinya oleh Charles Darwin. Konsep ini merujuk kepada asal usul biologis atau evolusioner tentang tingkah laku sosial.
Lorenz dan Tinberger, dua orang pendiri gerakan etologi mengidentifikasi empat karakteristik tingkah laku bawaan, yaitu :
(a) universal,
(b) stereotip,
(c) bukan hasil belajar, dan
(d) sangat minim sekali dipengaruhi lingkungan.

2.3.4 Pendekatan Imam Al-Ghzali
Al-Ghazali tidak menganjurkan penggunaan satu metode saja dalam menghadapi permasalahan akhlak serta pelaksanaan pendidikan anak. Dia menganjurkan agar guru memilih metode pendidikan sesuai dengan usia dan tabiat anak, daya tangkap dan daya tolaknya (daya persepsi dan daya rejeksinya).

Dalam upaya mengembangkan akhlakul karimah (akhlak mulia) anak, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
1. menjauhkan anak dari pergaulan yang tidak baik,
2. membiasakannya untuk bersopan santun.
3. memberikan pujian kepada anak yang melakukan amal shaleh,
4. membiasakannya mengenakan pakaian yang putih (bagus), bersih dan rapi
5. mencegah anak untuk tidur di siang hari,
6. menganjurkan mereka untuk berolah raga,
7. menanamkan sikap sederhana,
8. mengizinkannya bermain setelah belajar.













BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perkembangan merupakan pola perkembangan individu yang berawal pada konsepsi dan terus berlanjut sepanjang hayat dan bersifat involusi (Santrok Yussen 1992). Dengan demikian perkembangan berlangsung dari proses terbentuknya individu dari proses bertemunya sperma dengan sel telur dan berlangsung sampai akhir hayat yang bersifattimbulnya adanya perubahan dalam diri individu
Pakar psikologi Swiss terkenal Jean Piaget (1896-1980) menekankan bahwa anak-anak membangun secara aktif dunia kognitif mereka sendiri; informasi tidak sekedar dituangkan ke dalam pikiran mereka dari lingkungan.

3.2 Saran
Dari beberapa teori yang telah diuraikan, kita mengetahui bahwa tiap-tiap teori memiliki kelemahan dan kekurangan masing-masing. Oleh karena itu, di dalam penerapannya kita tidak perlu terpaku atau hanya cenderung kepada salah satu teori saja. Kita dapat mengambil manfaat dari beberapa teori sesuai dengan situasi dan kondisi seseorang.







DAFTAR PUSTAKA

Yusuf,Syamsu.2002.Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.Bandung: Rosdakarya
Santrock, jhon w. 2007. Perkembangan anak. Jakarta : Erlangga
http://nadhirin.blogspot.com/2010/02/teoriperkembanganmanusia.html.diunduh 05 September 2013
http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/25/definisi-perkembangan/.diunduh 05 September 2013
http://blog.uinmalang.ac.id/muttaqin/category/ilmuumum/perkembangananakdid/.diunduh 05 September 2013


ASKEP bedah CA payudara

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pembedahan onkologi pada payudara merupakan indikasi dari adanya kondisi kelainan akibat adanya pembesaran atau benjolan pada payudara. Sebagai modalitas asuhan keperawatan bedah onkologi payudara, perawat perioperative perlu mengetahui ringkasan konsep (meliputi anatomi dan fisiologi payudara), pengkajian keperawatan prabedah onkologi payudara, pengkajian diagnostic, diagnose keperawatan prabedah, serta rencana intervensi prabedah sampai masuk ke ruang prabedah.

1.2 Rumusan Masalah
1) Jelaskan Konsep teoritis secara medis mengenai kelainan pada payudara ?
2) Bagaimanakah konsep teoritis asuhan keperawatan pada bedah payudara ?

1.3 Tujuan
1) Untuk memahami dan mengetahui Konsep teoritis secara medis mengenai kelainan pada payudara
2) Untuk memahami dan mengetahui konsep teoritis asuhan keperawatan pada bedah payudara








BAB 2
KONSEP TEORITIS SECARA MEDIS

2.1 Anatomi dan Fisiologi Payudara
Kelenjar mammaria atau payudara, terletak di dalam fasia superfisial dinding dada anterior. Payudara terletak di iga ke 2 sampai ke 6 dan dari batas lateral sternum ke garis anterior, atau midaksilaris. Kelenjar ini dikelilingi oleh jaringan ikat subkutis, jaringan lemak dan terdapat di dalam kantong kulit berbentuk kerucut. Bagian terbesar dari kelenjar mamaria terletak di sebelah anterior jaringan ikat otot pektoralis mayor dan di sebelah lateral otot seratus anterior. Struktur penunjang yang menopang payudara dikenal sebagai ligamentum cooper. Jaringan mammaria tambahan, yang dikenal sebagai ekor aksilaris atau ekor spence, meluas ke atas dan ke lateral menuju lipatan aksila anterior.

Setiap kelenjar mammaria terdiri atas 15-20 lobus yang mengandung duktus, duktulus, dan satuan lobules alveolus (lobules yang mengandung sel-sel sekretorik atau alveolus) yang dipisahkan oleh jaringan ikat fibrosa atau septum, dan dikelilingi oleh jaringan ikat lemak.Setiap lobus kelenjar memancar menjahui puting payudara seperti jeruji.Setiap lobus kelenjar mammaria berakhir di sebuah duktus laktiferosa yang mengalirkan isinya, melalui sebuah lubang kecil ke puting payudara.Puting payudara dikelilingi oleh areola, yang berpigmen dan sedikit berkerut.
Pada payudara terdapat tiga bagian utama, yaitu :
1) Korpus (badan), adalah bagian yang membesar.Korpus Alveolus, yaitu unit terkecil yang memproduksi susu. Bagian dari alveolus adalah sel Aciner, jaringan lemak, sel plasma, sel otot polos dan pembuluh darah. Lobulus, yaitu kumpulan dari alveolus. Lobus, yaitu beberapa lobulus yang berkumpul menjadi 15-20 lobus pada tiap payudara. ASI dsalurkan dari alveolus ke dalam saluran kecil (duktulus), kemudian beberapa duktulus bergabung membentuk saluran yang lebih besar (duktus laktiferus).
2) Areola, yaitu bagian yang kehitaman di tengah.Sinus laktiferus, yaitu saluran di bawah areola yang besar melebar, akhirnya memusat ke dalam puting dan bermuara ke luar. Di dalam dinding alveolus maupun saluran-saluran terdapat otot polos yang bila berkontraksi dapat memompa ASI keluar.
3) Papilla atau puting, yaitu bagian yang menonjol di puncakpayudara.Bentuk puting ada empat, yaitu bentuk yang normal, pendek/ datar, panjang dan terbenam (inverted)


2.2 Definisi
1) Ca mammae adalah sekelompok sel tidak normal yang terus tumbuh di dalam jaringan mammae (Tapan, 2005).
2) Ca Mammae adalah kanker yang menyerang jaringan payudara yang menyebabkan sel dan jaringan payudara berubah bentuk menjadi abnormal dan bertambah banyak secara tidak terkendali (Mardiana, 2004).
3) Kanker adalah massa abnormal dari sel-sel yang mengalami proliferasi. Sel-sel neoplasma berasal dari sel-sel yang sebelumnya adalah sel-sel normal, selama mengalami perubahan neoplastik mereka memperoleh derajat otonomi tertentu. ( Sylvia A Price, 1994 ).
Dari definisi diatas disimpulkan bahwa kanker payudara merupakan massa sel dari perubahan sel yang mengalami pertumbuhan tidak normal dan tidak terkontrol.

2.3 Etiologi
Etiologi kanker payudara tidak diketahui secara secara pasti,Namun beberapa faktor resiko pada pasien diduga berhubungan dengan kejadian kanker payudara,yaitu:
1) Umur > 30 tahun
2) Melahirkan anak pertama pada usia > 35 tahun
3) Tidak kawin dan nulipara
4) Usia menopause > 55 tahun
5) Pernah mengalami infeksi trauma atau operasi tumor jinak payudara
6) Pernah mengalami infeksi trauma atau operasi tumor jinak payudara
7) Terapi hormonal lama
8) Mempunyai kanker payudara kontralateral
9) Pernah menjalani operasi ginekologis misalnya tumor ovarium
10) Pernah mengalami radiasi di daerah dada
11) Ada riwayat keluarga dengan kanker payudara pada ibu,saudara perempuan ibu,saudara perempuan,adik/kakak
12) Kontrasepsi oral pada pasien tumor payudara jinak seperti kelainan fibrokistik yang ganas




2.4 Stadium kanker Payudara
Tjindarbumi (2002) membagi stadium ca mammae yanng disesuaikan dengan aplikasi klinis sebagai berikut :
1) Stadium I
Tumor terbatas pada payudara, bebas dari jaringan sekitarnya, tidak ada fiksasi/infiltrasi ke kulit dan jaringan di bawahnya (otot).Besar tumor 1-2 cm. Kelenjar getah bening regional belum teraba.
2) Stadium II
Besar tumor 2,5-5 cm dan sudah ada satu atau beberapa Kelenjar Getah Bening (KGB) aksila yang masih bebas dengan diameter < 2 cm. 3) Stadium IIIa Tumor sudah meluas dalam payudara (5-10 cm) tetapi masih bebas di jaringan sekitarnya, KGB aksila masih bebas satu sama lain. 4) Stadium IIIb Tumor sudah meluas ke dalam payudara (5-10 cm) fiksasi pada kulit atau dinding dada, kulit merah, dan ada oedema (>1/3 permukaan kulit payudara), ulserasi dan atau nodul.
5) Stadium IV
Tumor seperti pada yang lain (stadium I, II, dan III), tetapi sudah disertai dengan KGB aksila supra-klavikula dan metastasis jauh lainnya.

3.5 Tanda dan Gejala
Menurut Suryaningsih 2009, tanda dan gejalanya adalah :
1) Benjolan
2) Adanya benjolan pada payudara yang dapat diraba dengan tangan. Semakin lama benjolan tersebut semakin mengeras dan bentuknya tidak beraturan.
3) Perubahan kulit pada payudara
a. Kulit tertarik (skin dimpling)
b. Benjolan yang dapat dilihat (visible lump)
c. Eritema
d. Ulkus
4) Kelainan pada putting
a. Putting tertarik (nipple retraction)
b. Eksema
c. Cairan pada putting (nipple discharge)

3.6 Patofisiologi
Ca mammae, sama seperti keganasan lainnya penyebab dari keganasan ini merupakan multifaktoral baik lingkungan maupun faktor herediter, diantaranya adanya lesi pada DNA menyebabkan mutasi genetik, mutasi gen ini dapat menyebabkan ca mammae, kegagalan sistem kekebalan tubuh, pertumbuhan abnormal dari growth factor menyebabkan rangsangan abnormal antara sel stromal dengan sel epitel, adanya defek pada DNA repair genes seperti BRCA1, BRCA2, yang pada prinsipnya meningkatkan aktivitas proliferasi sel serta kelainan yang menurunkan atau menghilangkan regulasi kematian sel (Heffner, 2005).
Ca mammae terjadi karena hilangnya kontrol atau proliferasi sel payudara dan apoptosis sehingga sel payudara berpoliferasi secara terus-menerus. Hilangnya fungsi apoptosis menyebabkan ketidakmampuan mendeteksi kerusakan sel akibat kerusakan DNA. Bila terjadi mutasi gen p53 maka fungsi sebagai pendeteksi kerusakan DNA akan hilang, sehingga sel-sel abnormal berpoliferasi terus-menerus. Peningkatan jumlah sel tidak normal ini umumnya membentuk benjolan yang disebut tumor atau kanker.Tumor jinak biasanya merupakan gumpalan lemak yang terbungkus dalam suatu wadah yang menyerupai kantong.Lewat aliran darah maupun sistem getah bening, sel-sel tumor dan racun yang dihasilkan keluar dari kumpulannya dan menyebar ke bagian lain tubuh.
Sel-sel yang menyebar ini kemudian akan tumbuh berkembang di tempat baru, yang akhirnya membentuk segerombolan sel tumor ganas atau kanker baru. Keganasan kanker payudara ini dengan menyerang sel-sel nomal disekitarnya, terutama sel-sel yang lemah. Sel kanker akan tumbuh pesat sekali, sehingga payudara penderita akan membesar tidak seperti biasanya.
Ca mamae berasal dari epitel saluran dan kelenjar payudara.Pertumbuhan dimulai dari dalam duktus ataupun kelenjar lobulus yang disebut karsinoma noninvasif. Kemudian tumor menerobos ke luar dinding duktus atau kelenjarr di daerah lobulus dan invasi ke dalam stroma, yang dikenal dengan nama karsinoma invasif. Penyebaran tumor terjadi melalui pembuluh getah bening, deposit dan tumbuh di kelenjar getah bening, sehingga kelenjar getah bening aksiler atau supraklavikuler membesar.Ca mammae pertama kali menyebar ke kelenjar aksila regional.Lokasi metastasis paling jauh yaitu tulang, hati, paru, pleura, dan otak (Heffner, 2005).

3.7 Pemeriksaan Penunjang
1) Mamografi
Dengan tes ini dapat ditemukan benjolan yang kecil sekalipun.Bila secara klinis dicurigai ada tumor dan pada mamografi tidak ditemukan apa-apa, pemeriksaan harus dilanjutkan dengan biopsi sebab sering karsinoma tidak tampak pada mammogram.Sebaliknya bila mamografi positif dan secara klinis tidak teraba tumor pemeriksaan harus dilanjutkan dengan pungsi atau biopsi.
2) Ulrasonografi
USG biasanya digunakan bersamaan bersama dengan mamografi, tujuannya untuk membedakan kista yang berisi cairan atau solid. Untuk menentukan stadium dapat menggunakan foto thoraks, USG abdomen, Bone scanning dan CT scan.
3) X-foto thorax
Dapat membantu mengetahui adanya keganasan dan mendeteksi adanya metastase ke paru-paru.
4) Pemeriksaan Biopsi Jarum Halus
Merupakan pemeriksaan sitologi dimana bahan pemeriksaan diperoleh dari hasil punksi jarum terhadap lesi yang dapat dipakai untuk menentukan apakah akan segera disiapkan pembedahan dengan sediaan beku atau akan dilanjutkan oleh pemeriksaan lain. Cara pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, namun tidak dapat memastikan tidak adanya keganasan.Hasil negatif pada pemeriksaan ini dapat berarti bahwa jarum biopsi tidak mengenai daerah keganasan sehingga biopsi eksisi tetap diperlukan untuk konfirmasi hasil negatif tersebut (Sjamsuhidayat, 2004).

3.8 Penatalaksanaan
Pengobatan dimulai setelah dilakukan penilaian secara menyeluruh terhadap kondisi penderita, yaitu sekitar 1 minggu atau lebih setelah biopsi.Pengobatannya terdiri dari pembedahan, terapi penyinaran, kemoterapi dan obat penghambat hormon.
Pembedahan
a) Mastektomi
Mastektomi adalah operasi pengangkatan mammae. Ada 3 jenis mastektomi yaitu :
1) Modified Radycal Mastectomy, yaitu operasi pengangkatan seluruh mammae, jaringanmammae di tulang dada, tulang selangka dan tulang iga, serta benjolan disekitar ketiak.
2) Total (Simple) Mastectomy, yaitu operasi pengangkatan seluruh mammae saja, tanpa kelenjar di ketiak.
3) Radical Mastectomy, yaitu operasi pengangkatan sebagian dari mammae. Biasanya disebut Lumpectomy, yaitu pengangkatan hanya pada jaringan yang mengandung sel kanker, bukan seluruh mammae. Biasanya lumpectomy direkomendasikan pada pasien yang besar tumornya kurang dari 2 cm dan letaknya di pinggir mammae.
b) Kelenjar Getah Bening (KGB) Ketiak.
c) Pengangkatan KGB Ketiak dilakukan terhadap penderita ca mammae yang menyebar tetapi besar tumornya lebih dari 2,5 cm (Tapan, 2005).
Non Pembedahan
a) Terapi radiasi
Radiasi adalah proses penyinaran pada daerah yang terkena ca dengan menggunakan sinar X dan sinar gamma yang bertujuan membunuh sel kanker yang masih tersisa di mammae setelah operasi. Efek pengobatan ini adalah tubuh menjadi lemah, nafsu makan berkurang, warna kulit di sekitar mammae menjadi hitam serta Hb dan leukosit cenderung menurun sebagai akibat dari radiasi.
b) Kemoterapi
Kemoterapi adalah proses pemberian obat-obatan anti kankerdalam bentuk pil cair atau kapsul atau melalui infus yang bertujuan membunuh sel kanker. Obat –obatan ini tidak hanya membunuh sel kankerpada mammae, tetapi juga seluruh sel dalam tubuh.Efek dari kemoterapi adalah pasien mengalami mual dan muntah serta rambut rontok.Sistematik setelah mastektomi, paliatif pada penyakit yang lanjut.
c) Terapi hormon dan endokrin
Pemberian hormon dilakukan apabila penyakit telah sistemik berupa metastasis jauh.Terapi hormonal biasanya diberikan secara paliatif sebelum kemoterapi.Obat-obat penghambat hormon (obat yang mempengaruhi kerja hormon yang menyokong pertumbuhan sel kanker) digunakan untuk menekan pertumbuhan sel kankerdi seluruh tubuh.Diberikan pada kankeryang telah menyebar, memakai estrogen, androgen, antiestrogen, coferektomi adrenalektomi hipofisektomi (Tapan, 2005).













BAB 3
KONSEP TEORITIS ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Proses Keperawatan Praoperatif Bedah Onkologi Pada Payudara
3.1.1 Pengkajian focus keperawatan
Pada pengkajian anamnesis biasanya didapatkan adanya keluhan benjolan pada payudara. Factor bertambahnya usia mempunyai risiko yang lebih tinggi terdapat kemungkinan mengidap kanker payudara (Gruendemann, 2006).
Pada pengkajian riwayat keluarga terdapat adanya hubungan seorang wanita yang ibu atau saudarinya (saudara dekat, keturunan pertama) pernah/sedang menderita kanker payudara, memiliki risiko paling sedikit dua sampai tiga kali lipat lebih besar dibandingkan dengan populasi umum. Adanya riwayat awitan haid sebelum usia 12 tahun dan nuliparitas, kehamilan cukup bulan pertama setelah usia 35 tahun, awitan menopause yang lambat, atau riwayat haid lebih dari 40 tahun memiliki hubungan peningkatan risiko penyakit payudara jinak (Gruendemann, 2006).
Pada pemeriksaan fisik inspeksi sering didapatkan kondisi asimetri retraksi atau adanya skuama pada puting payudara.Tanda-tanda stadium lanjut, yaitu nyeri, pembentukan ulkus dan edema.
Pada palpasi payudara akan ditemukan/teraba benjolan atau penebalan payudara yang biasanya tidak nyeri. Selain itu juga ada pengeluaran rabas darah atau serosa dari puting payudara dan cekungan atau perubahan kulit payudara. Apabila ditemukan adanya benjolan di payudara, maka benjolan tersebut harus dievalusi terhadap satu dari tiga kemungkinan, yaitu : kista, tumor jinak, atau tumor ganas (Gruendemann, 2006).


Di ruang Prabedah
Pada pengkajian di ruang prabedah, perawat melakukan pengkajian ringkas mengenai kondisi fisik pasien dan kelengkapan yang berhubungan dengan pembedahan. Pengkajian ringkas tersebut adalah sebagai berikut :
1) Validasi : perawat melakukan konfrimasi kebenaran identitas pasien sebagai data dasar untuk mencocokan prosedur jenis pembedahan yang akan dilakukan.
2) Kelengkapan administrasi : status rekan medic, data-data penunjang (laboratorium dan radiologi), serta kelengkapan informed consent.
3) Tingkat kecemasan dan pengetahuan pembedahan
4) Pemeriksaan fisik terutama tanda-tanda vital dan kondisi masa pada payudara.

3.1.2 Diagnosa Keperawatan di ruang properatif
1) kecemasan dan pemenuhan informasi
Rencana Intervensi :
a) Observasi TTV dan berkolaborasi denga tim medis apabila ditemukan perubahan atau ketidaknormalan dari hasil pemeriksaan TTV. Observasi TTV merupakan data dasar yang penting sebagai bahan evaluasi pascabedah di ruang pemulihan.
b) Pengaturan posisi fisiologi untuk menurunkan respon nyeri
c) Komunikasi terapeutik dan dukungan psikologis untuk menurunkan tingkat kecemasan.
d) Penjelasan singkat tentang prosedur yang akan dilakukan perawat dan dokter selama pasien masih sadar.
e) Pemasangan kateter IV dan jarum berdiameter besar
Evaluasi yang diharapkan pada pasien di ruang sementara, meliputi :
a) TTV dalam batas normal
b) Respons nyeri tidak meningkat dan perdarahan dapat terkontrol
c) Tingkat kecemasan pasien menurun
d) Pasien dapat dukungan psikologis dan secara singkat dapat menjelaskan secara singkat prosedur pembedahan.
e) Pasien sudah terpasang IV kateter.

3.2 Proses Keperawatan Intraoperatif Bedah Onkologi Pada Payudara
3.2.1 Di Kamar Operasi
Asuhan keperawatan intraoperatif pemberian anestesi pada bedah payudara pada prinsipnya sama dengan asuhan keperawatan pada saat pemberian anastesi secara umum.
3.2.2 Patofisiologi ke masalah keperawatan
Pasien yang dilakukan pembedahan akan melewati berbagai prosedur. Prosedur pemberian anestesi, pengaturan posisi bedah, manajemen asepsis, dan prosedur bedah payudara akan memberikan implikasi pada masalah keperawatan yang akan muncul.
Efek dari anestesi umum akan memberikan respons depresi atau iritabilitas kardiovaskuler, depresi pernafasan, dan kerusakan hati serta ginjal. Penurunan suhu tubuh akibat suhu diruang operasi yang rendah, infus dengan cairan yang dingin, inhalasi gas-gas yang dingin, luka terbuka pada tubuh, aktivitas otot yang menurun, usia lanjut, obat-obatan yang digunakan (vasodilator, anestesi umum) mengakibatkan penurunan laju metabolisme. Efek anestesi akan memengaruhi mekanisme regulasi sirkulasi normal, sehingga mempunyai risiko terjadinya penurunan kemampuan jantung dalam melakukan stroke volume efektif yang berimplikasi pada penurunan curah jantung. Efek intervensi bedah dengan adanya cedera vascular dan banyaknya jumblah volume darah yang keluar dari vascular memberikan adalah terjadinya penurunan perfusi perifer serta perubahan elektrolit dan metabolisme, karena terjadi mekanisme kompensasi pengaliran suplai hanya untuk organ vital.
Respons pengaturan posisi bedah telentang akan menimbulkan peningkatan risiko cedera perengangan pleksus brakialis, tekanan berlebihan pada tonjolan-tonjolan tulang yang berada di bawah (bokong, scapula, kalkaneus), tekanan pada vena femolaris atau abdomen, dan cedera otot tungkai.Efek intervensi bedah onkologi payudara membuat suatu pintu masuk kuman (port de entrée) sehingga menimbulkan masalah risiko infeksi intraoperasi. Respon intervensi bedah onkologi payudara juga akan meningkatkan cedera jaringan lunak (vascular, otot, saraf) serta kehilangan banyak darah intraoperasi. Intervensi bedah dengan menggunakan instrumen dan peralatan listrik memunculkan masalah risiko cedera intraoperasi yang perlu diwaspadai oleh perawat perioperative.
Pengkajian intraoperatif bedah onkologi secara ringkas mengkaji hal-hal yang berhubungan dengan pembedahan. Diantaranya adalah validasi identitas dan prosedur jenis pembedahan yang akan dilakukan, serta konfirmasi kelengkapan data penunjang laboratorium dan radiologi.
3.2.3 Diagnosa Keperawatan Intraoperatif bedah onkologi payudara
1) Risiko cedera berhubungan dengan pengaturan posisi bedah dan trauma prosedur pembedahan
2) Risiko infeksi berhubungan dengan adanya port de entrée luka pembedahan dan penurunan imunitas sekunder efek anestesi.
3.2.4 Rencana Intervensi
Tujuan Utama keperawatan pada jenis pembedahan bedah onkologi payudara adalah menurunkan risiko cedera, mencegah kontaminasi intraoperative, dan optimalisasi hasil pembedahan.
Kriteria hasil : pada saat masuk ruang pemulihan kondisi TTV dalam batas normal, tidak terdapat adanya cedera tekan sekunder dari pengaturan posisi bedah, dan luka pascabedah tertutup kasa. Rencana yang disusun dan akan dilaksanakan baik pada risiko cedera maupun risiko infeksi
Intervensi :
1) Kaji ulang identitas pasien
Rasional : perawat ruang operasi memeriksa kembali identitas dan kardeks pasien. Lihat kembali lembar persetujuan tindakan, riwayat kesehatan, hasil pemeriksaan fisik, dan berbagai hasil pemeriksaan diagnostic.Pastikan bahwa alat protese dan barang berharga telah dilepas dan periksa kembali rencana keperawatan praoperatif yang berkaitan dengan rencana keperawatan intraoperatif.

2) Lakukan persiapan meja bedah dan sarana pendukung
Rasional : meja bedah spinal disesuaikan dengan posisi bedah yang akan dilakukan. Perawat sirkulasi melakukan pengujian setiap fungsi dari kemampuan meja bedah dan mempersiapkan kelengkapan pendukung seperti sabuk.Penahan lengan dari meja bedah dapat meningkatkan efektivitas dan efesiensi dalam peraturan posisi.
3) Pasang hasil pemeriksaan radiologi atau CT scan pada tempat lampu pemeriksaan
Rasional : penempatan hasil akan mempermudah ahli bedah dalam menyesuaikan intervensi intraoperatif
4) Siapkan alat hemostatasis dan alat cadangan dalam kondisi siap pakai
Rasional : alat hemostasis merupakan fondasi dari tindakan operasi untuk mencegah terjadinya pendarahan serius akibat kerusakan pembuluh darah arteri. Untuk menghindari cedera akibat perdarahan intraoperasi.
5) Siapkan obat-obatan untuk pemberian anestesi umum
Rasional : obat-obat anestesi yang dipersiapkan meliputi obat pelemas otot dan obat anestesi umum.
6) Siapkan sarana scrub
Rasional : sarana scrub, meliputi cairan antiseptic cuci tangan pada tempatnya, gaun (terdiri dari gaun kerap air dan baju bedah steril), duk penutup, dan duk berlubang dalam kondisi lengkap dan siap pakai.
7) Siapkan sarana pendukung pembedahan
Rasional : sarana pendukung seperti kateter urine lengkap, alat pengisap (suction) lengkap, spons dalam kondisi siap pakai.
8) Siapkan alat-alat intubasi endotrakeal
Rasional : intubasi endotrakeal digunakan untuk menjaga kepatenan dalan nafas intraoperasi.
9) Siapkan obat dan peralatan emergensi
Rasional : peralatan jalan nafas juga diperlukan termasuk laringoskopi, selang endotrakeal, dan jalan nafas oral dan nasal faringeal. Selain itu, masker dan kantong resusitasi self-inflating adalah alat penting yang harus mudah diakses.
10) Beri dukungan praanestesi
Rasional : hubungan emasional yang baik antara penata anestesi dan pasien akan memengaruhi penerimaan anestesi.
11) Lakukan pemberian indukasi anestesi secara intravena
Rasional : pemberian indikasi dilakukan sebagai suatu obat intravena pertama dengan tujuan umum menghambat saraf dan menyebabkan paralisis sementara pada pita suara dan otot pernafasan selama selang endotrakeal terpasang.
12) Lakukan pemasangan kateter urine
Rasional : kateter foley harus dipasang sebelum pasien diberi posisi telungkap. Gunakan teknik aseptic untuk pemasangan kateter. Cegah terjadinya tekukan atau tekanan pada kateter selama proses pemindahan tersebut. Periksa kepatenan system drainase setelah pemberian posisi.Catat keluaran urine dan pemasangan kateter.
13) Bantu ahli anestesi dalam pemasangan selang endotrakeal
Rasional : penata anestesi akan membantu melakukan penekanan tulang rawan krikoid (perasat sellick) dan menahan konektor saat perasat intubasi endotrakeal dilakukan oleh ahli anestesi.
14) Lakukan pemasangan manset tekanan darah dan monitor dasar, oksimetri pada jari, dan pertahankan kelancaran intravena
Rasional : stetoskop precordial dibiarkan menempel didada pasien, menyalurkan informasi mengenai gerakan mekanis jantung dan adanya bunyi nafas secara kontinu. Perubahan yang dapat dideteksi mencakup bising jantung, aksentuasi bunyi jantung kedua, dan denyut jantung yang abnormal.
15) Lakukan pemberian oksigenasi dan pemasangan selang endotrakeal
Rasional : pemasangan selang endotrakeal biasanya dilakukan diatas brankar. Penata anestasi akan membantu melakukan penekanan tulang rawan krikoid (perasat sellick) untuk menyumbat esophagus pada saat perasat endotrakeal dilakukan.
16) Lakukan manajemen asepsis prabedah
Rasional : manajemen asepsis selalu berhubungan dengan pembedahan dan perawatan perioperatif. Asepsis prebedah meliputi teknik aseptic atau pelaksanaan scrubbing cucui tangan.
17) Lakukan manajemen asepsis intraoperasi
Rasional : manajemen asepsis dilakukan untuk menghindari kontak dengan zona steril, meliputi pemakaian baju bedah, pemakaian sarung tangan, persiapan kulit, pemasangan duk, penyerahan alat yang diperlukan perawat instrument dengan perawat sirkulasi. Manajemen asepsis intraoperasi merupakan tanggung jawab perawat instrument dengan mempertahankan integritas lapangan steril selama pembedahan dan bertanggung jawab untuk mengkomunikasikan kepada tim bedah seperti pelanggaran teknik aseptic atau kontaminasi yang terjadi selama pembedahan.
18) Lakukan peraturan posisi telentang dan perhatian kondisi lengan
Rasional : lengan pasien diputar ke papan lengan berbantalan, gerakkan berdasarkan ROM normal.
19) Lakukan persiapan alat bedah secara scrup
Rasional : persiapan alat setelah perawat melakukan scrup merupakan penatalaksanaan awal pembedahan sudah bisa dimulai.
20) Letakan alat insisi dan alat pengisap pada sisi area bedah
Rasional : peletakan alat insisi akan memudahkan ahli bedah dalam melakukan insisi
21) Lakukan peran perawat sirkulasi dalam mendukung pembedahan
Rasional : perawat sirkulasi memfokuskan aktivitas manajemen kamar operasi agar kelancaran pembedahan dapat dilakukan secara optimal sejak pengaturan posisi bedah sampai dokter bedah selesai melakukan penutupan luka bedah.
22) Bantu ahli bedah pada saat dimulainya insisi
Rasional : perawat instrument atau asisten bedah menggunakan alat hemostasis listrik pada klem arteri untuk menjepit atau menghentikan perdarahan.
23) Bantu ahli bedah pada saat membuka jaringan
Rasional : pada saat pembukaan jaringan, pasien mempunyai risiko cedera. Perawat asisten bedah membantu ahli bedah dengan membuka jaringan dengan forseps dengan hati-hati sambil mengikuti arahan ahli bedah.Perawat instrument menggunakan alat hemostatis untuk diarahkan ke forseps.
24) Optimalisasi peran perawat sirkulasi
Rasional : perawatan sirkulasi mendukung kebutuhan intraoperasi
25) Bantu ahli bedah pada saat akses bedah untuk pengangkatan massa pada payudara tercapai
Rasional : tujuan bedah onkologi payudara adalah mengangkat massa dari payudara. Peran perawat membantu ahli bedah agar tujuan bedah dapat optimal terlaksana.
26) Bantu ahli bedah dalam penutupan jaringan
Rasional :penutupan dilakukan lapis demi lapis sesuai arah atau jaringan yang telak dilakukan pembedahan. Perawat instrument menurunkan risiko cedera dengan mempersiapkan dan memiliki sarana penjahitan sesuai jaringan yang di jahit dan kondisi atau kelayakan instrument agar kerusakan jaringan dapat minimal.Penjahitan bisa dilakukan ahli bedah atau asisten bedah.
27) Lakukan penghitungan jumlah kasa dan instrument yang telah digunakan
Rasional : penghitungan yang tepat akan mencegah tertinggalnya kasa pada area bedah sehingga menurunkan risiko cedera pada pasien.
28) Lakukan penutupan luka bedah
Rasional : sebelumnya area bedah bekas darah dan lainnya dilakukan desinfeksi dan dibersihkan, perawat mengangkat duk dan kemudian luka ditutup dengan kasa dan diplester secara keseluruhan
29) Jaga jalan napas dan control kondisi status respirasi
Rasional : sebelum memindahkan pasien ke brankar untuk dikirim ke ruang pemulihan pascaanestesi, perawat tetap menjaga jalan napas dengan menjaga posisi kepala dan menahan dagu agar jalan napas tetap optimal.
30) Rapikan dan bersihkan instrument
Rasional : sebelum pasien dipindahkan ke ruang pulih sadar kondisi area bedah sudah bersih dari sisa pembedahan.
31) Lakukan dokumentasi intraoperasi
Rasional : catatan keperawatan intraoperatif diisi lengkap sebelum pasien dipindahkan ke ruang pulih sadar agar asuhan keperawatan yang diberikan berkesinambungan.
3.3 Proses Keperawatan Pascaoperatif Bedah Payudara
3.3.1 Di Ruang Pulih Sadar
Asuhan keperawatan pasca bedah payudara di ruang pulih sadar secara umum sama dengan asuhan keperawatan pascabedah dengan anesthesia umum lainnya. Pengkajian pascaanestesi dilakukan sejak pasien mulai dipindahkan dari kamar operasi ke ruang pemulihan.Pada saat memindahkan pasien yang berada diatas brankar, perawat mengkaji dan melakukan intervensi tentang kondisi jalan nafas, tingkat kesadaran, status vascular, sirkulasi dan perdarahan, serta suhu tubuh dari saturasi oksigen.Pengaturan posisi kepala pada saat pemindahan sangat penting dengan tetap menjaga kepatenan jalan napas.
3.3.2 Patofisiologi ke Masalah Keperawatan Pascabedah Payudara
Pasien pascabedah akan mengalami perubahan fisiologi sebagai efek dari anestesi dan intervensi bedah. Efek dari anestesi umum akan memberikan respons pada system respirasi dimana akan terjadi respons depresi pernapasan sekunder dari sisa anestesi inhalasi, penurunan kemampuan terhadap kontrolkepatenan jalan nafas dimana kemampuan memposisikan lidah secara fisiologi masih belum optimal, sehingga cenderung menutup jalan napas dan juga mengalami penurunan untuk melakukan batuk efektif dan muntah masih belum optimal. Kondisi ini memberikan manifestasi adanya masalah keperawatan jalan napas tidak efektif dan risiko pola nafas tidak efektif.
Efektif anestesi akan mempengaruhi mekanisme regulasi sirkulasi normal sehingga mempunyai risiko terjadinya penurunan kemampuan jantung dalam melakukan stroke volume efektif yang memberikan implikasi penurunan curah jantung. Efek intervensi bedah dengan adanya cedera vascular dan banyaknya jumlah volume darah yang keluar dari vascular memberikan dampak terjadinya penurunan perfusi perifer, perubahan elaktrolit dan metabolisme karena terjadi mekanisme kompensasi pengaliran suplai hanya untuk organ vital.Efek anestesi juga memengaruhi pusat pengatur suhu tubuh sehingga kondisi pascabedah pasien cenderung mengalami hipotermi.
Efek anestesi pada system saraf pusat akan memengaruhi penurunan control kesadaran dan kemampuan dalam orientasi pada lingkungan sehingga pada pasien yang mulai sadar biasanya gelisah. Kondisi penurunan reaksi anestetik akan bermanifestasi pada munculnya keluhan nyeri akibat kerusakan neuromuscular pascabedah. Pasien pascabedah cenderung mengalami kecemasan pascabedah sehubungan dengan ketidakmampuaan dan penurunan kemampuan adaptasi normal.
Efek anestesi juga memengaruhi terhambatnya jaras aferen dan eferen terhadap control miksi, sehingga memberikan implikasi masalah gangguan pemenuhan eliminasi urine.
Efek anestesi akan menimbulkan penurunan peristaltik usus dan memberikan implikasi peningkatan risiko paralisis usus dengan distensi otot-otot abdomen dan timbulnya gejala obstruksi gastrointestinal. Efek anestesi juga memengaruhi penurunan kemampuan pengosongan lambung, sehingga cenderung terjadinya refluks esophagus dan makanan keluar ke kerongkongan yang berindikasi terjadinya aspirasi makanan ke saluran napas.
Respons pengaturan posisi bedah akan menimbulkan peningkatan risiko terjadinya tromboembosis, parastesia, dan cedera tekan pada beberapa penonjolan tulang. Efek intervensi bedah akan meninggalkan adanya kerusakan integeritas jaringan dengan penurunan kontrol otot dan keseimbangan secara sadar sehingga pasien pascabedah mempunyai risiko tinggi cedera.

3.3.3 Pengkajian
Pengkajian pascaoperatif dilakukan secara sistematis mulai dari pengkajian awal saat menerima pesan, pengkajian status respirasi, status sirkulasi, status neurologi dan respon nyeri, status integritas kulit dan status genitourinarius.
Pengkajian awal pascabedah sebagai berikut :
1) Diagnosis medis dan jenis pembedahan yang dilakukan
2) Usia dan kondisi umum pasien, kepatenan jalan napas, tanda-tanda vital
3) Anestesi dan medikasi lain yang digunakan (misalnya narkotik, relaksan otot, antibiotic)
4) Segala masalah yang terjadi dalam ruang operasi yang mungkin memengaruhi perawatan pascaoperatif (misalnya hemoragi berlebihan, syok, dan henti jantung)
5) Patologi yang dihadapi ( jika malignansi, apakah pasien atau keluarga sudah diberitahukan).
6) Cairan yang diberikan, kehilangan darah, dan penggantian
7) Segera selang, drain, kateter, atau alat bantu pendukung lainnya.
8) Infomasi spesifik tentang siapa ahli bedah atau ahli anestesi yang akan diberitahu.
Status Respirasi
kontrol pernapasan
1) Obat anestesi tertentu dapat menyebabkan depresi pernapasan. Sehingga perawat perlu waspada terhadap adanya pernapasan yang dangkal dan lambat, serta batuk yang lemah.
2) Perawat mengkaji frekuensi, irama, kedalaman ventilasi pernapasan, kesimetrisan gerakan dinding dada, bunyi napas, dan warna membrane mukosa. Apabila pernapasan dangkal, letakkan tangan perawat di atas muka atau mulut pasien sehingga perawat dapat merasakan udara yang keluar.
Kepatenan jalan napas
Jalan napas oral atau oral airway masih dipasang untuk mempertahankan kepatenan jalan napas sampai tercapai pernapasan yang nyaman dengan kecepatan normal. Apabila fungsi pernapasan sudah kembali normal, perawat mengajurkan pasien membersihkan jalan napas dengan cara meludah. Kemampuan melakukan hal tersebut menandakan kembalinya refleks muntah normal.
Status Sirkulasi
Pengkajian kecepatan denyut dan irama jantung yang teliti serta pengkajian tekanan darah menunjukkan status kardiovaskuler pasien.
Perawat membandingkan TTV praoperatif dengan pascaoperatif.Dokter harus memberitahu jika tekanan darah pasien terus menurun dengan cepat pada setiap pemeriksaan atau jika kecepatan denyut jantung menjadi semakin tidak teratur.
Status Neurologi
Perawat mengkaji tingkat kesadaran pasien dengan cara memanggil namanya dengan suara sedang. Perawat memperhatikan apakah pasien berespons dengan tepat atau terlihat bingung dan disorientasi. Apabila pasien tetap tidur atau tidak berespons, perawat mencoba mangkaji pasien dengan cara menyentuhnya atau menggerakkan bagian tubuh pasien dengan lembut. Perawat dapat memeriksa refleks pupil, refleks muntah dan mengkaji genggaman tangan serta pergerakan ekstermitas pasien.Kaji tingkat respons sensibilitas dengan membandingkan peta dermatom untuk menilai kembalinya fungsi sensasi taktil.
Pengkajian skala nyeri merupakan metode efektif bagi perawat untuk mengkaji nyeri pascaoperatif bedah spina, mengevalusi respons pasien terhadap pemberian analgesic, dan mendokumentasikan beratnya nyeri secara objektif.Pengkajian skala nyeri praoperatif digunakan sebagai dasar bagi perawat untuk mengevalusi efektifitas intervensi selama pemulihan pasien.
Muskuloskeletal
Kaji kondisi organ pada area yang rentan mengalami cedera posisi pascabedah.

3.3.4 Diagnosa Keperawatan
1) Risiko tinggi pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan kontrol pernapasan efek sekunder anestesi.
2) Jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan kontrol kepatenan jalan napas (lidah), penurunan kontrol batuk efektif dan muntah efek sekunder anestesi, efek depresan dari medikasi dan agens anatesi.
3) Penurunan perfusi perifer berhubungan dengan depresi mekanisme regulasi sirkulasi normal, perdarahan pascaoperatif, penurunan curah jantung, hipovolemia, pengumpulan darah perifer, dan vasokonstriksi.
4) Nyeri berhubungan dengan cedera jaringan lunak bedah urogenital, kerusakan neuromuscular pascabedah.
5) Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas lambung dan usus selama periode intraoperative
6) Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan penurunan aktivitas, efek medikasi, dan penurunan masukan cairan
7) Kecemasan berhubungan dengan diagnosis pascaoperatif, kemungkinan perubahan dalam gaya hidup, dan perubahan dalam konsep diri.

3.3.5 Intervensi Keperawatan
1) Risiko tinggi pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan kontrol pernapasan efek sekunder anestesi.
Tujuan : mengefektifkan jalan napas, mempertahankan ventilasi pulmonal, dan mencegah hipoksemia dan hiperkapnea
Kriteria Hasil :
a) Frekuensi pernapasan dalam batas normal (12-20x/menit)
b) Tidak menggunakan otot bantu napas
c) Tidak terdengar bunyi napas tambahan
d) Oral airway dapat dilepas tanpa komplikasi
Intervensi :
a) Atur tempat pasien dengan dekatkan pada akses oksigen dan suction
Rasional : pasien bisanya masih mendapat oksigenasi pemeliharaan sampai sadar penuh
b) Kaji dan observasi jalan napas
Rasional :salah satu cara untuk mengetahui apakah pasien bernapas atau tidak adalah dengan menempatkan telapak tangan diatas hidung dan mulut pasien untuk merasakan hembusan napas.
c) Pertahankan kepatenan jalan napas
Rasional :jalan napas oral atau airway tetap terpasang untuk mempertahankan kepatenan jalan napas sampai tercapai pernapasan yang nyaman dengan kecepatan normal.
d) Atur posisi kepala untuk mempertahankan jalan napas
Rasional :tindakan terhadap obstruksi hipofaringeus termasuk mendongakkan kepala ke belakang dan mendorong ke depan pada sudut rahang bawah, seperti jika mendorong gigi bawah di depan gigi atas.
e) Beri oksigen 30 liter/menit
Rasional : pemenuhan oksigen dapat membantu meningkatkan PaO2 di cairan otak yang akan memengaruhi peraturan pernapasan.
f) Bersihkan secret pada jalan napas
Rasional : kesulitan pernapasan dapat terjadi akibat sekresi lender yang berlebihan.
2) Jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan kontrol kepatenan jalan napas (lidah), penurunan kontrol batuk efektif dan muntah efek sekunder anestesi, efek depresan dari medikasi dan agens anatesi.
Tujuan : pola napas kembali efektif sesuai dengan berkurangnya efek anestesi, umum dan pasien maupun melakukan latihan pernapasan pascabedah.
Kriteria Hasil :
a) Frekuensi pernapasan dalam batas normal (12-20x/menit)
b) Tidak menggunakan otot bantu pernapasan
c) Saturasi oksigen 100%
d) Oral airway sudah bisa dilepas saat pasien keluar ruang pemulihan
Intervensi :
a) Kaji dan monitor control pernapasan
Rasional : obat anestesi tertentu dapat menyebabkan depresan pernapasan, oleh Karena itu perawat harus mewaspadai pernapasan yang dangkal dan larnbat serta batuk yang lemah
b) Monitor frekuensi, irama, kedalaman ventilasi pernapasan, kesimetrisan gerakan dinding dada, bunyi napas, dan warna membrane mukosa
Rasional : deteksi awal adanya perubahan terhadap kontrol pola pernapasan dari medulla oblongata untuk intervensi selanjutnya
c) Pastikan fungsi pernapasan sudah optimal
Rasional : tindakan evaluasi untuk menentukan dimulainya latihan pernapasan sesuai yang diajarkan pada saat praoperatif
d) Instruksikan pasien untuk napas dalam
Rasional :meningkatkan ekspansi paru, untuk memperbesar ekspansi dada dan pertukaran gas.
e) Instruksikan untuk melakukan batuk efektif
Rasional : batuk juga didorong untuk melonggarkan sumbatan mukus

3) Penurunan perfusi perifer berhubungan dengan depresi mekanisme regulasi sirkulasi normal, perdarahan pascaoperatif, penurunan curah jantung, hipovolemia, pengumpulan darah perifer, dan vasokonstriksi.
Tujuan : dalam waktu 15 menit pascabedah perfusi perifer menjadi optimal
Kriteria Hasil :
a) Denyut nadi perifer teraba
b) Akral hangat
c) Pengisian kapiler < 3 detik
d) Tidak terlihat adanya sianosis sentral atau perifer
e) TTV dalam batas normal
f) Kulit perifer tidak pucat
g) Output urine 50 ml/jam
Intervensi :
a) Monitor tanda dan gejala penurunan perfusi jaringan
Rasional : monitor tanda dan gejala penurunan perfusi jaringan
b) Beri intervensi sesuai dengan penyebab penurunan perfusi
Rasional : beri intervensi sesuai dengan penyebab penurunan perfusi
c) Lakukan percepatan mobilisasi aktivitas
Rasional : lakukan percepatan mobilisasi aktivitas
4) Nyeri berhubungan dengan cedera jaringan lunak bedah urogenital, kerusakan neuromuscular pascabedah.
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam nyeri berkurang atau beradaptasi
Kriteria Hasil :
a) TTV dalam batas normal
b) Nyeri di tingkat 0-1 atau skala 0-4
Intervensi :
a) Kaji kemampuan kontrol nyeri pasien
Rasional : banyak factor fisiologi memengaruhi persepsi nyeri
b) Kaji persiapan pengelolahan nyeri praoperatif
Rasional : persiapan praoperatif yang diterima oleh pasien adalah factor yang signifikan dalam menurunkan ansietas dan nyeri yang dialami dalam periode pascaoperatif.
c) Kaji skala nyeri
Rasional : skala nyeri pascaoperatif tergantung pada persepsi fisiologis dan psikologis individu, toleransi yang ditimbulkan untuk nyeri, letak insisi, sifat prosedur, dan kedalaman trauma bedah.
d) Lakukan manajemen nyeri keperawatan
i. Istirahatkan pasien
Rasional : istirahat secara fisiologis akan menurunkan kebutuhan oksigen yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme basal
ii. Ajurkan teknik relaksasi pernapasan dalam pada saat nyeri muncul
Rasional : meningkatkan asupan O2 sehingga menurunkan nyeri sekunder dari iskemia spina
iii. Ajurkan teknik distraksi pada saat nyeri
Rasional : Distraksi dapat menurunkan stimulus internal
iv. Manajemen lingkungan : lingkungan tenang, batasi penunjang dan istirahatkan pasien
Rasional : lingkungan tenang akan menurunkan stimulus nyeri eksternal dan pembatasan pengunjung akan membantu meningkatkan kondisi O2 ruangan yang akan berkurang apabila banyak pengunjung yang berada di ruangan. Istirahat akan menurunkan kebutuhan O2 jaringan perifer
v. Lakukan manajemen sentuhan
Rasional : masase ringan dapat meningkatkan aliran darah dan membantu suplai darah dan oksigen ke area nyeri
vi. Lakukan teknik stimulus perkutaneus
Rasional : salah satu metode distraksi untuk menstimulus pengeluaran endorphin-enkefalin yang berguna sebagai analgesic internal untuk memblok rasa nyeri
vii. Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung
Rasional : pengetahuan membantu mengurangi nyerinya dan mengembalikan kepatuhan pasien terhadap rencana terapeutik
e) Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgesic
Rasional : analgesic memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang.
5) Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas lambung dan usus selama periode intraoperative
Tujuan :dalam waktu 3 x 24 jam fungsi peristaltic menjadi normal
Kriteria Hasil :
a) TTV dalam batas normal
b) Peristaltic usus normal
c) Pasien mampu BAB
Intervensi :
a) Kaji kemampuan Peristaltic setiap 4-8 jam
Rasional : penilaian bunyi bising usus merupakan parameter penting yang dilakukan perawat untuk mengetahui fungsi intestinal sudah optimal, untuk mendeteksi kembalinya bising usus normal.
b) Berikan asupan nutrisi dan tingkatan secara bertahap
Rasional : apabila Peristaltic sudah kembali, perawat memberikan cairan yang encer, dilanjutkan dengan cairan yang kental, diet ringan makanan padat, dan akhirnya diberikan diet regular.
c) Lakukan dan tingkatan ambulasi dan latihan
Rasional : aktifitas fisik merangsang kembalinya Peristaltic.
d) Pertahankan asupan cairan yang adekuat
Rasional : cairan menjaga feses tetap lembut sehingga mudah dikeluarkan.
e) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat supositoria
Rasional : apabila terjadi konstipasi atau disentri, dokter mencoba merangsang Peristaltic melalui katartik atau edema. Selang rektal atau enema aliran balik meningkatkan keluarnya flatus.
6) Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan penurunan aktivitas, efek medikasi, dan penurunan masukan cairan
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam pasien mampu berkemih tanpa bantuan kateter
Kriteria Hasil : pasien mampu berkemih secara spontan dan tanpa bantuan selang kateter
Intervensi :
a) Monitor output dan system drainese kateter
Rasional : pascabedah, pasien masih terpasang kateter folley. Perawat memeriksa jumlah output dan kelancaran drainase dari kateter
b) Monitor input dan output cairan tiap 4 jam
Rasional : pasien mudah mengalami drainase akibat cairan yang hilang dari luka bedah
7) Kecemasan berhubungan dengan diagnosis pascaoperatif, kemungkinan perubahan dalam gaya hidup, dan perubahan dalam konsep diri.
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam tingkat kecemasan pasien berkurang atau hilang
Kriteria Hasil :
a) Pasien menyatakan kecemasan berkurang
b) Pasien mampu mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau factor yang mempengaruhinya
c) Pasien kooperatif terhadap tindakan
d) Wajah rileks
Intervensi :
a) Kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan, damping pasien dan lakukan tindakan bila menunjukan perilaku merusak
Rasional : reaksi verbal/non verbal dapat menunjukan rasa agitasi, marah dan gelisah yang akan memengaruhi posisi pasien pada brankar sehingga mempunyai risiko jatuh.
b) Hindari konfrontasi
Rasional : konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama, dan memperlambat penyembuhan.
c) Tingkatkan kontrol sensasi pasien
Rasional : kontrol sensasi pasien dengan cara memberikan informasi tentang keadaan pasien, menekankan pada penghargaan terhadap sumber-sumber koping yang positif, membantu latihan relaksasi dan teknik-teknik pengalihan, dan memberikan respons balik positif.
d) Orientasikan pasien terhadap prosedur rutin dan aktifitas yang diharapkan
Rasional : Orientasikan dapat menurunkan kecemasan



3.3.6 Evaluasi Keperawatan Pascaoperatif
Evalusasi yang diharapkan pada pasien pascoperatif bedah payudara adalah sebagai berikut :
1) Kembalinya fungsi fisiologis pada seluruh system secara normal
2) Tidak terjadi cedera pada korda
3) Tidak terjadi komplikasi pascabedah
4) Dapat beristirahat dan memperoleh rasa nyaman
5) Hilangnya rasa cemas.




















BAB 4
RESUME


4.1 Kesimpulan
Pembedahan onkologi pada payudara merupakan indikasi dari adanya kondisi kelainan akibat adanya pembesaran atau benjolan pada payudara. Pada proses pembedahan onkologi ini di bagi menjadi berapat tahap yaitu
1) Proses Keperawatan Praoperatif Bedah Onkologi Pada Payudara,
2) Proses Keperawatan Intraoperatif Bedah Onkologi Pada Payudara,
3) Proses Keperawatan Pascaoperatif Bedah Onkologi Pada Payudara.

















DAFTAR PUSTAKA


Dalimartha, Setiawan. 2004. Deteksi Dini Kanker dan Simplisia Anti Kanker.Jakarta : Penebar Swadaya
Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan Keperawatan Perioperatif. Jakarta : Selemba Medika
Sjamsuhidayat, R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2.Jakarta : EGC
Tjindarbumi, D. 2002. Deteksi Dini Kanker Payudara dan Penanggulangannya dalam Deteksi Dini Kanker.Jakarta : FK UI
Prawirohardjo, Sarwono. 2005. Ilmu Kandungan.Jakarta : Yayasan Bina Pustaka